Siapakah Calon Bupati Tuban 2011 - 2015?

Senin, 08 Juni 2009

KRISIS EKOLOGI LAUT DAN LINGKUNGAN PESISIR

Pengantar

Doktrin pembangunanisme ala Orde Baru dengan memprioritaskan pertumbuhan ekonomi sebagai panglima ujung-ujungnya harus dibayar mahal oleh segenap anak bangsa. Proyek-proyek pembangunan yang hanya mengejar target pertumbuhan ekonomi dan bersifat fisik ternyata berdampak pada krisis moneter yang berlanjut pada krisis politik sehingga memaksa sang penguasa rezim harus lengser keprabon.

Tanpa menafikan prestasi ‘keberhasilan’ dalam mengelola stabilitas politik dan ekonomi yang pernah diraih selama berkuasa, toh pada akhir pemerintahannya rezim kleptokratik ini mewariskan krisis multidimensi yang amat parah. Tidak hanya krisis moneter dan ekonomi yang hingga sekarang dampaknya masih kita rasakan, namun yang lebih parah lagi adalah, bencana krisis moral dan ekologi-lingkungan yang sungguh memprihatinkan.

Sebagai dampak krisis moral, kini korupsi semakin merajalela dan membudaya di seluruh strata pemerintahan. Bahkan sampai menular ke desa-desa. Sementara dampak yang muncul akibat krisis ekologi-lingkungan seakan-akan hampir setiap saat Indonesia tidak pernah sepi kedatangan bencana alam dan epedemi penyakit. Segala resiko di atas tidak lain adalah buah dari akibat yang ditimbulkan oleh kesalahan dalam mengelola bangsa ini. Keserakahan segelinter elit yang memiliki otoritas dan power dalam menentukan kebijakan publik, tetapi tidak amanh. Tidak semestinya rakyat dijadikan obyek pembangunan dan sumberdaya alam dieksplotasi tanpa batas (boundless). Apabila kecenderungan menyimpang semacam ini terus dibiarkan, bukan mustahil kehidupan seluruh penduduk yang mendiami negeri ini kian bertambah sengsara. Kehidupan anak dan cucu kita menjadi sangat menderita karena alam tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Indonesia, kini sungguh menjadi sebuah negeri penuh ironi dan kemasghulan dalam hidup berbangsa di abad modern ini. Katanya, hidup di zaman yang semakin modern dan sarwa dimanjakan teknologi namun terasa seperti ‘teralienasi’ dari lingkungan sosial maupun lingkungan ekologis yang sehat. Di mana semestinya kita menjadi saling tergantung untuk menjaga kelangsungan spesies kita di masa depan.


Namun, sejauh ini tak banyak orang yang mau menyadari bahwa baik krisis sosial maupun ekologis membawa dampak dan konsekuensi yang besar bagi keberlangsungan kehidupan spesies manusia di bumi. Di mana-mana, terutama di kawasan perkotaan tumbuh menjamur rumah-rumah kaca dan gedung bertingkat pencakar langit meski ada kekhawatiran terhadap pemanasan global. Kasus pembalakan liar (illegal loging) terus terjadi tanpa peduli datangnya tanah longsor dan banjir bandang. Proyek-proyek reklamasi pantai terus digenjot tanpa mempedulikan bahaya rob dan abrasi pantai. Konversi lahan subur pertanian kian meningkat tanpa mau mengerti betapa kritisnya sistem ketahanan pangan kita yang rapuh.

Pendek kata, melihat fenomena musibah bencana alam yang datang bertubi-tubi di negeri kita maka sebagai penyebab bencana tersebut tidak lain karena memang sikap kita yang gemar memusuhi alam (binatang dan makhluk hidup lainnya). Yakni tidak mau menjaga sebaik mungkin lingkungan sekitar kita. Padahal, pada satu sisi kita ini hidup sangat tergantung kepada alam, akan tetapi di sisi yang lain, kita justru tidak mau memperlakukan alam sebagai subyek. Lingkungan sekitar sebenarnya merupakan satu entitas kehidupan yang sama seperti kita, memiliki hak untuk hidup dan berkembang sebagaimana yang dijaminkan Tuhan, Sang Maha Pencipta. Dengan demikian, jika kita termasuk umat beragama maka memusihi alam sama halnya mengingkari adanya nikmat Tuhan, istilah agamanya yaitu kufur bin ni’mah.


Indonesia: Archipelagic State

Indonesia disebut archipelagic state atau negara maritim. Karena sebagian besar luas wilayahnya, yakni dua pertiganya terdiri dari lautan, atau sebuah negara yang terdiri dari pulau-pulau yang dikelilingi lautan. Menurut catatan Walhi tahun 2006, wilayah kedaulatan Indoensia yang berupa daratan meliputi pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya sekitar 17.500 pulau yang terbentang dan tersebar mulai dari Sabang hingga Merauke. Wilayah laut Indonesia merupakan terluas di dunia, dengan luas totalnya 5,9 juta km persegi. Kita juga memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, yaitu sekitar 81.000 km. Dari keseluruhan luas wilayah terotori Indonesia yang sebesar 1.923.715 km3, sekitar 75 persen dari total wilayahnya adalah lautan yang amat kaya dengan sumberdaya alam (Kompas: 18/09/2004).


Kekayaan sumberdaya kelautan dan pesisir Indoensia tidak kalah besar dengan kekayaan di daratan, selain meliputi pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau, yang dikelilingi ekosistem pesisir tropis, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumberdaya hayati dan non-hayati (bahan mineral dan tambang) yang terkandung di dalamnya.
Dari aspek pertahanan, wilayah pesisir memiliki arti strategis untuk menangkal serangan musuh-musuh yang datang dari luar teritorial. Di samping itu, kawasan pesisir juga amat strategis untuk menunjang sistem ketahanan pangan nasional karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Seperti untuk jalur transportasi angkutan barang dan pariwisata.

Namun sayangnya, karakteristik laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diintegrasikan secara terpadu dalam pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah Indonesia yang sektoral dan proyek oriented serta bias daratan, akhirnya menjadikan laut tak ubahnya sebagai kolam sampah raksasa. Tempat muara pembuangan sampah-sampah penduduk dan limbah industri yang berasal dari kegiatan di wilayah daratan.

Dari aspek sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar (pemodal swasta) dan pengusaha asing. Sedangkan kelompok nelayan sebagai jumlah terbesar (sekitar 3,5 KK) merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia. Sutawi dan Hermawan (2004: 29) memperkirakan ada 70 persen populasi penduduk nelayan Indonesia yang hidup dalam kondisi miskin. Jika diambil rata-rata tiap anggota keluarga nelayan itu 5 orang, berarti ada 17,5 juta penduduk Indonesia yang secara langsung menggantungkan hidup mereka dari laut.

Sungguh merupakan suatu ironi, negara Indonesia yang disebut negara maritim terbesar di dunia karena memiliki dua pertiga wilayah berupa lautan dengan panjang garis pantai 81.000 km, dengan sumberdaya kelautan yang melimpah ruah akan tetapi justru sebagian besar masyarakat nelayan kita justru hidup dalam gelimang kemiskinan. Sekedar contoh, kondisi ekonomi nelayan di Kabupaten Tuban, pengahasilan rumah tangga nelayan tradisonal hanya memperoleh pendapatan rata-rata perbulan sekitar Rp. 300.000,- s/d Rp. 500.000,-. Nilai pendapatan di bawah ketentuan gaji UMR daerah yang jumlahnya mencapai Rp. 660.000,- perbulan. Sebaliknya, beberapa negara yang memiliki potensi dan sumberdaya kelautan lebih sedikit seperti negara Thailand memiliki pembangunan sektor perikanan yang maju dan cukup kokoh dibandingkan Indonesia, sehingga nelayan di sana kehidupanya relatif lebih makmur (Gautama, 2003: 165).


Terhadap laut, Indonesia tidak hanya memiliki kebanggaan dari aspek territorial- geografis. Sejarah kejayaan Indonesia di masa lalu sebagai negara maritim di dunia merupakan entitas kedaulatan sebuah negara yang cukup disegani dan diperhitungkan dalam percaturan politik internasional. Kemasyhuran Majapahit dan Sriwijaya sebagai negara maritim telah membuktikan hal itu. Kapal-kapal niaga dan ekspedisi kedua kerajaan besar di Nusantara ini banyak disebutkan dalam literatur sangat berperan penting dalam konstalasi dunia, baik dalam perdagangan maupun kebudayaan. Maka disinilah arti pentingnya meletakan laut sebagai bagian dari sistem pertahanan negara di samping bagian integral dari sistem pertahanan pangan rakyat. Dengan demikian kewajiban kita sebagai warga negara terhadap laut yaitu melakukan penjagaan dan melestarikan seluruh aset sumberdaya kelautan yang kita miliki.

Selain karena faktor letak geografis di persimpangan jalur transportasi dunia yang strategis, bahwa kemasyhuran kedaulatan laut Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang di masa lalu. Pertama, adalah peranan kerjasama dalam perdagangan antar pulau yang berjalan secara dinamis. Ditilik dari perspektif ekonomi, hal ini berarti para pendahulu kita telah mampu menciptakan mekanisme pasar dalam skala lintas etnis dan budaya melalui kontak-kontak bisnis yang berlangsung di kota-kota niaga pantai di sepanjang jalur perdagangan Nusantara. Oleh karena itu, patut diduga bahwa budaya kosmopolitan yang berkembang di Nusantara terutama di kawasan kota-kota pesisir merupakan dampak positif dari kerjasama ekonomi antar pulau tersebut.

Kedua, bersanding dengan lancarnya kegiatan perdagangan antar pulau-pulau di sepanjang jalur navigasi perairan laut Nusantara --dimulai dari arah barat yaitu Bandar Samudera hingga ke arah timur, Bandar Bima—terjalin pula kontak budaya dan misi penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pelancong. Para juru dakwah awal yang memasuki wilayah Melayu-Nusantara adalah berasal dari daratan Arabia, Persia, Gujarat dan Indocina. Mereka berkeliling dari satu bandar niaga ke bandar niaga lainnya. Mencapai pendaratan dari satu pulau ke pulau lainnya. Sehingga masyarakat setempat meyebut mereka sebagai da’i kelililing atau kiai lelono. Aktivitas da’i keliling ini disamping menekuni profesi sebagai pedagang pelancong mereka juga aktif berdawah agama kepada penduduk di sekitar bandar niaga yang kebetulan sedang disinggahinya. Sejarah mencatat bahwa nama komunitas “kauman” yang biasanya terdapat di kota-kota niaga pesisiran pada awalnya muncul karena dilatarbelakangi oleh intensitas dakwah Islam yang dilakukan oleh para saudagar yang sekaligus berperan sebagai kiai lelono tadi.

Pada perkembangan selanjutnya, setelah terbentuk kantong-kantong masyarakat Islam atau social grouping yang disebut komunitas kauman tadi, kemudian mulai didirikan pusat-pusat studi keislaman yaitu pesantren. Sebut misalnya pesantren Sunan Bonang yang berada di Tuban, pesantren Sunan Giri yang berada di Gresik, pesantren Sunan Ampel yang berada di kawasan Ampel Denta kota Surabaya, dll. Umumnya pusat-pusat studi dan peradaban Islam di masa itu terletak tidak jauh dari kawasan bandar niaga yang ramai dengan semarak aktivitas perdagangan.

Setelah pusat-pusat studi Islam ini mengalami kemapanan di daerahnya masing-masing dan terus sertai mobilitas para juru dakwah yang terus berlanjut dan membentuk semacam koneksi jaringan intelektuan (ulama’) Nusantara (Azra, 2002: 63-89). Maka dari latar historis ini dapat diketahui bahwa perkembangan Islam Nusantara (baca; Indonesia) tidak terlepas dari kawalan budaya niaga yang bercorak kosmopolit, terbuka dan penuh toleransi dengan budaya serta adat istiadat lokal setempat. Para juru dakwah yang sudah membentuk jaringan ulama ini selalu memperkenalkan wajah Islam kepada masyarakat Nusantara melalui ruang-ruang dialog, forum pengajian, pagelaran seni dan sastra, serta aktivitas-aktivitas budaya lainnya, yang sepi dari unsur paksaan dan nuansa konfrontasi. Strategi akulturasi budaya merupakan pilihan yang dianggap bijak untuk mendialogkan Islam dengan khazanah dan tradisi lokal yang telah hidup berabad-abad di tengah-tengah masyarakat, sehingga kehadiran misi Islam --rahmatan lil’alamin-- turut mewarnai dengan nilai-nilai profetis-transformatif yang diembannya supaya lebih mudah diterima dan cepat membumi di bumi Nusantara.


Ketiga, dengan semakin lancarnya kontak-kontak perdagangan dan kebudayaan di atas maka peranan alat komunikasi yang dalam hal ini bahasa Melayu sebagai lingua franca kian mendominasi dalam percaturan ekonomi dan kebudayaan antar daerah. Dengan demikian, secara teori dapat digambarkan, secara perlahan-lahan dengan peranan bahasa Melayu (baca; plus Arab pegon) sudah mulai membentukan konstruk kebudayaan besar yaitu budaya khas Nusantara, yang mana unsur-unsurnya dirangkai dari pelbagai budaya lokal di masing-masing daerah. Lebih jauh, sejarah perkembangan kebudayaan Indonesia modern dapat dilacak dalam konteks dan latar historis ini. Maka sangat bisa diterima secara nalar kalau pada peristiwa bersejarah, tanggal 28 Oktober 1928 bahasa Melayu diterima para perwakilan pemuda se-Tanah Air dalam Kongkres Pemuda pertama sebagai bahasa persatuan yang kembali diikrarkan menjadi Bahasa Indonesia.

Namun sayangnya, setelah kedatangan bangsa-bangsa imperalis dan kolonialis Barat kedigdayaan maritim Nusantara yang telah bertahan berabad-abad lamanya mengalami kemandegkan total, kemudian terputus akibat politik devide et impera sang penjajah. Kedatangan orang-orang kulit putih ini hanya ingin menguras kekayaan alam Indonesia dan penduduk pribumi, sedangkan hubungan kerjasama perdagangan yang dijalin dengan para penguasa lokal hanyalah sebuah kedok belaka (Alwi, 2005). Dampak kekejaman dan keserakahan penjajah kolonial terhadap bangsa kita mengakibatkan penderitaan panjang hingga membekaskan luka sejarah yang amat dalam.

Bertolak dari latar sejarah kejayaan maritim tempo dulu, di sini dapat ditegaskan bahwa kalau bangsa ini mau memperkuat integrasi nasional sekaligus ketaguhan ekonomi bangsa maka titik pangkalnya adalah membangun kekuatan basis pertahanan dunia kemaritiman dengan serius.

Krisis Ekologi-Kelautan di Pantura

Dewasa ini, kondisi lingkungan laut dan pesisir semakin tambah mengkhawatir-kan. Hampir di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura) pencemaran air sungai dan laut, ekosistem terumbu karang dan pohon-pohon bakau/mangrove atau tanaman pantai lainya yang dapat berfungsi sebagai penangkis gelombang pasang sudah banyak yang punah. Dapat di pastikan, setiap kali musim air laut sedang pasang, hempasan gelombang dan ombak menerjang rumah-rumah penduduk dan jalan raya karena sudah tidak ada lagi tanaman pantai yang dapat menahan laju gelombang pasang. Runyamnya lagi, banyak kawasan hutan bakau yang jadi gundul karena ulah para pemodal yang melakukan konversi lahan, apakah untuk kepentingan industri, property ataupun bisnis pariwisata yang sebenarnya menyalahi peraturan tata ruang kelautan daerah. Yang lebih aneh, perbuatan tersebut justru malah dibiarkan oleh penguasa setempat karena dianggap bisa menambah pemasukan bagi pihak-pihak yang memegang otoritas atau menaikan angka pendapatan asli daerah (PAD).

Paling tidak ada dua faktor penting yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan di kawasan pesisir. Faktor yang pertama adalah, pesatnya pembangunan industri di daratan tepi dan lepas pantai. Pertumbuhan industri di daerah Pantura Jawa Timur di tengarahi sebagai pihak yang paling besar berkontribusi dalam pencemaran lingkungan kelautan. Untuk satu dekade terakhir ini kondisi lingkungan laut di kawasan pantai dari Surabaya hingga ke wilayah perbatasan sebelah barat Propinsi dampak kerusakannya sudah sangat terasa sekali karena berpengaruh langsung terhadap penurunan hasil tangkapan para nelayan, utamanya yang masih mengandalkan alat tangkap tradisional.


Perkembangan industri-manufaktur memang diakui telah mampu menjawab persoalan kesejahteraan dan kesenjangan sosial, tetapi buah akibatnya ternyata harus dibayar amat mahal karena berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan.
Akselerasi pertumbuhan industi di kawasan daratan dan pesisir Pantai Utara telah mengakibatkan gundulnya hutan mangrove disekitarnya. Ditambah pula pembangunan pelabuhan industri terpadu, dan tempat-tempat wisata tepi pantai di Kabupaten Gresik, Lamongan dan Tuban banyak mengahasilkan limbah buangan yang mengakibatkan, pendangkalan sungai, sendimen laut dan semakin rusaknya ekosistem terumbu karang.

Sekedar ilustrasi, bahwa keberadaan tanaman hutan bakau berfungsi amat penting sebagai peredam gelombang pasang dan angin badai, pelindung abrasi, penahan lumpur dan perangkap sendimen agar tidak mudah lonsor digerus gelombang laut. Menipisnya jumlah tanaman hutan bakau akan berdampak pada rentannya kawasan pesisir pantai dari ancama bencana dari arah laut.

Seperti yang dilaporkan mingguan Tempo (Edisi: 6/05/2007), keseluruhan luas hutan bakau di Indonesia pada tahun 1982 tercatat 4,2 juta hektare. Akibat alih fungsi, empat tahun kemudian menyusut satu juta hektare menjadi 3,2 juta hektare. Dan pada tahun 2005, luasnya tinggal separuhnya. Kerusakan hutan bakau di daerah pemukiman nelayan juga akibat ditebangi untuk dijual kepada masyarakat atau dimanfaatkan sendiri untuk berbagai kebutuahn rumah tangga (Kusnadi, 2006:189).


Faktor lain yang juga merisaukan bagi usaha menjaga kelestarian ekosistem laut dan kawasan pesisir yaitu meningkatnya populasi penduduk yang semakin pesat. Sebagaimana kata pepatah, ”ada gula ada semut”. Di mana ada pundi-pundi uang dibangun maka di situ pula akan menarik datangnya banyak manusia. Terbukanya peluang dan kesempatan kerja yang ditawarkan oleh industri di kawasan pesisir menghadirkan tenaga kerja dari berbagai daerah, dan dari berbagai lapisan masyarakat dengan bermacam-macam kualifikasi. Di samping berdampak pada masalah krisis lingkungan kehadiran industri juga akan melahirkan problem mobilitas penduduk dan kelangkaan pekerjaan, terutama bagi penduduk yang miskin akses (Usman, 1998: 245).

Dengan semakin banyaknya pusat-pusat industri yang dibangun di area tepi laut maka secara otomatis akan diikuti dengan pertumbuhan penduduk yang begitu padat. Tingkat kepadatan itu menambah beban yang amat berat bagi lingkungan karena daya dukung sumberdaya alam yang ada sangat terbatas. Sumberdaya alam yang tersedia ternyata semakin tidak seimbang dengan lajunya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup penduduk. Lingkungan tidak pernah berhenti dieksplorasi dengan berbagai macam cara dan argumentasi.

Secara otomatis, dengan bertambahnya jumlah penduduk di kawasan pesisir pantai menuntut ketersediaan lahan yang cukup untuk kebutuhan papan dan aktivitas bisnis penunjang. Guna memenuhi kebutuhan tempat pemukiman tersebut dibuatlah kebijakan tentang konversi lahan. Pengadaan proyek konversi atau alih fungsi lahan berdampak pada pengerukan gunduk pasir, pengebrukan tambak atau rawa-rawa serta reklamasi pantai. Demikian juga dilakukan penebangan pohon-pohon bakau demi memenuhi kecukupan lahan untuk konversi. Akibatnya, setiap terjadi air laut pasang tidak hanya genangan rob dan abrasi yang mengganggu aktivitas rutin warga yang berdomisili di sebagian wilayah Pantura, akan tetapi secara ekonomis juga merugikan karena produktivitas pertumbuhan bibit nener (bandeng), windu dan kepiting cenderung menurun drastis.

Semakin bertambah padat area kawasan pemukiman penduduk pesisir juga berpotensi menghasilkan produksi sampah yang cukup besar. Selain kiriman limbah industri, sampah-sampah dari sektor rumah tangga dan industri rumahan di sekitar pantai umumnya banyak di buang ke sungai atau langsung ke laut. Laut, sepertinya berfungsi menjadi tong sampah raksasa yang sanggup menampung aneka macam rupa sampah dan racun seberapun banyaknya. Fenomena ini akan terus berlangsung selama belum ada kesadaran massif penduduk kawasan pantai untuk mengelola sampah secara benar sehingga tidak mengganggu lingkungan.


Selanjutnya, kontribusi yang cukup besar terhadap kerusakan ekosistem laut juga diakibatkan adanya aktivitas para nelayan sendiri. Modernisasi di sektor kelautan yang hanya dipahami sebatas peningkatan hasil tangkapan mendorong para nelayan secara leluasa dan sembrono mengoperasikan alat tangkap yang justru merusak eksistem laut. Seperti penggunaan pukat harimau atau mini trawl, pukat dogol, payang methek, bom ikan atau racun kimia potasium, dsb. Sejauh pengamatan penulis, terhadap kegiatan penangkapan yang over-eksploitasi atau overfishing belum ada upaya pencegahan yang serius dari pemerintah daerah setempat meskipun tindakan tersebut sangat mengancam ketersediaan sumberdaya perikanan dan kelangsungan hidup nelayan di masa depan.

Semua kerusakan biofisik-lingkungan laut di atas adalah gejala yang terlihat dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian alam dan daya dukung lingkungannya. Ilustrasi tabel di bawah adalah salah satu contoh penggunaan alat tangkap oleh nelayan modern maupun tradisional yang dapat mengancam kelestarian ekosistem laut dan sampai sekarang masih dioperasikan di wilayah perairan Gresik, Lamongan dan Tuban.

Kebanyakan nelayan yang beroperasi di wilayah laut Pantura Jawa Timur sudah menggunakan mesin untuk menggerakan laju perahu, bahkan bagi nelayan perahu kursin dan perahu ijon malah menambah mesin gardan untuk menarik pukat dan payang pethek-nya. Keduanya beroperasi di area tangkap berjarak 30 mil lebih dari bibir pantai. Bagi nelayan kursin atau kapal besar malahan kalau melaut bisa sampai memakan waktu seminggu lebih atau sebulan baru mendarat. Sedangkan kalau nelayan ijon hanya memerlukan waktu sekitar 12 – 14 jam dalam beroperasi setiap hari.

Bagi nelayan srool, jukung dan lolopik mereka pada umumnya melakukan operasi tangkap pada perairan berjarak kurang dari 30 mil dari lepas pantai. Untuk beroperasi melebihi jarak tempuh 30 mil sangat beresiko mengingat ukuran perahu mereka relatif kecil dan riskan kecelakaan apabila sewaktu-waktu datang gelombang besar.



Konflik Sumberdaya Laut Atau Titik Balik Blue Revolution

Pada periode tahun 1970-an, salah satu kebijakan politik pembangunan yang diusung oleh pemerintahan Orde Baru adalah melakukan modernisasi pembangunan di sektor pertanian dan kelautan, --meskipun masalah kemaritiman seakan-akan diabaikan karena kebijakan pemerintah lebih berorientasi dan berkiblat ke daratan. Namun pada dasarnya, paradigma yang dianut dalam doktrin pembangunan nasional tersebut sebetulnya adalah penerapan ideologi produktivitas sebagai ”pembenaran” terhadap eksploitasi sumberdaya alam yang ada.


Untuk sektor pertanian, diterapkan mega-proyek industrialisasi pertanian yang dikenal dengan istilah revolusi hijau (green revolution). Yaitu program intensifikasi dalam rangka peningkatan produk-produk pertanian. Sedangkan untuk sektor kelautan dikenal dengan istilah blue revolution atau revolusi biru. Bentuk konkret dari program revulusi biru adalah pengadaan motorisasi pada teknik penangkapkan ikan di laut yang diperlengkapi pula penggunaan jaring trawl atau pukat harimau. Hal ini berarti nelayan kebetulan punyak akses teknologi alat tangkap modern secara legal untuk melakukan eksplotasi sumberdaya perikanan secara penuh, tanpa peduli masalah batas ketersediaan sumberdaya perikanan dan keberlangsungan ekosistem laut terancam punah.

Namun, setelah berjalan hampir satu dasawarsa dampak kelangkaan sumberdaya perikanan yang diakibatkan oleh penggunaan trawl sangat dirasakan oleh para nelayan tradisional yang minim akses teknologi karena semakin susah mencari hasil tangkapan. Akibatnya, muncul kecemburuan sosial dan kerap berakhir konflik horisontal. Praktis pengoperasian trawl yang menyebabkan tangkap lebih (overfishing) pada tahun 1980 dilarang oleh pemerintah. Pada tahun 1980, untuk menghilangkan keresahan sosial di kalangan masyarakat nelayan akibat beroperasinya trawl dikeluarkanlah Keppres No. 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl atau pukat harimau.

Dengan alasan yang sama, untuk mengantisipasi masalah kelangkaan sumberdaya perikanan dan kelautan, Menteri Pertanian yang saat itu membawahi masalah kelautan mengeluarkan SK N0. 317/Kpts./Um/1975 yang isinya melarang pengoperasian penangkapan ikan di wilayah perairan laut Jawa Timur dengan menggunakan perahu motor berkekuatan lebih 35 PK dan alat tangkap purse seine yang panjangnya lebih dari 300 meter dan lebar 20 meter. Pelarangan ini dilakukan karena wilayah/teritorial yang ada dan potensi sumberdaya perikanan yang tersedia semakin langka (Kusnadi, 2006: 117). Kelangkaan sumberdaya perikanan sangat riskan memicu konflik sosial di kalangan masyarakat nelayan.


Kembali pada persoalan akar konflik sumberdaya perikanan; pertama, bahwa munculnya konflik di antara kelompok nelayan disebabkan oleh faktor kecemburuan sosial dan penurunan pendapatan hasil tangkapan (kelangkaan sumberdaya), sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kasus munculnya masalah kecemburuan sosial lebih disebabkan oleh perbedaan akses teknologi pealatan tangkap, yang dalam hal ini nelayan yang memiliki modal besar bisa secara mudah memilikinya dan sekaligus juga menguasai jaringan distribusi pasar.
Adapun faktor yang mengakibatkan penurunan hasil tangkapan yaitu kegiatan illegal fishing dan overfishing sebagai akibat dioperasikannya teknologi peralatan tangkap cukup besar, yang berimplikasi pada sempitnya fishing ground. Termasuk kasus penggundulan hutan bakau di kawasan tepi pantai yang sangat burfungsi untuk pengembangbiakan bibit-bibit ikan, nener, udang, kepiting dan binatang laut lainnya.

Faktor selanjutnya adalah, konflik sosial kelautan juga diakibatkan oleh ambiguitas pemikiran nelayan (lokal) yang mengklaim bahwa sumberdaya perikanan adalah bagian dari hak ulayat nelayan yang mendiami wilayah pesisir setempat (quasi private proverty). Padahal sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan sumberdaya milik umum (commons property recources) yang pemanfaatannya terbuka untuk siapapun atau open access property. Tetapi, berdasarkan pasal 33 UUD 1945, dan UU Pokok Perairan No. 6/1996, dinyatakan sebagai milik pemerintah (state property). Atas dasar inilah diharapkan “intervensi” pemerintah dalam pengaturan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan dapat meredam konflik sosial di masyarakat.

Oleh karena itu, adanya perbedaan persepsi terkait penerapan konsep pemilikan dan penguasaan sumberdaya ini mendorong ambiguitas atau ketidakjelasan siapa yang berhak untuk mengelolanya. Hal ini selanjutnya mendorong berbagai stakeholder untuk mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir ini secara berlebihan, kalau tidak maka pihak lain yang akan memanfaatkannya, dan tidak ada insentif untuk melestarikannya, sehingga terjadi the tragedy of commons yang baru.

Dan yang terakhir adalah terkait faktor penegakan hukum yang lemah dan jauh dari rasa keadilan oleh masyarakat nelayan. Persaingan dalam memperebutkan hasil tangkapan seperti jenis ikan demersal dan udang laut (lobster) yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan pasar yang prospektif merupakan hal yang tak terelakan bagi masyarakat nelayan. Akibat perebutan daerah tangkapan serta keterbatasan teritorial distribusi spesies ikan komersial dan tidak dilaksanakannya aturan hukum yang berlaku dengan pengawasan yang ketat menyebabkan persaingan menjadi konflik yang cenderung destruktif. Kalau tidak ada ketegasan pihak yang berwenang dalam penegakan aturan main, maka sudah pasti akan berlaku motto ’only the fittes will survive’ dalam pertarungan memperebutkan area tangkap yang dianggap potensial.


Sampai sekarang ini konflik sosial terkait kelangkaan sumberdaya antara kelompok nelayan kursin dan kapal yang berasal dari Bulu atau dari daerah lain dengan nelayan tradisional yang umumnya berdomisi di wilayah Kecamatan Tambakboyo dan Jenu dan sekitarnya tetap berlansung. Walaupun konflik bersifat laten, namun intensitasnya belum juga menurun. Hal ini dipicu oleh ulah para nelayan kapal dan kursin yang selalu usil untuk melakukan aktivitas tangkapan (istilah lokal; nawur) di areal tendak atau anggas (sejenis rumpon ikan buatan), bahkan mereka juga tidak segan-segan untuk merusak rumpon tersebut. Bagi nelayan tradisional, tendak dan anggas merupakan tempat mereka menggantungkan nasib untuk mendapatkan hasil tangkapan, karena di situlah tempat yang digadang-gadang bermukimnya banyak ikan. Mengingat di beberapa tempat yang sebelumnya menjadi kawasan teritorial distribusi spesies ikan kian terbatas jumlahnya setelah rusaknya ekologi laut dan ekosistem terumbu karang akibat over eksploitasi dan kiriman limbah industri yang berasal dari daratan di sepanjang perairan pantai Tuban.


Penutup


Merupakan serangkaian penutup, di sini penulis mencoba menawarkan solusi untuk menanggulangi terjadinya proses kerusakan ekosistem kelautan di sepanjang kawasan perairan Pantai Utara Jawa Timur yang akhir-akhir ini gejalanya cenderung tambah parah. Dalam hal ini, maka sebagai langkah awal yang perlu dikerjakan adalah, Pemerintah Daerah hendaknya dapat bekerja lebih serius untuk membuat regulasi yang mengatur tata ruang kelautan dan lingkungan pesisir. Di mana konteks pembuatannya lebih di dasarkan pada kepentingan yang pro-nelayan dan demi menjaga kelangsungan sumberdaya laut dan pesisir. Dan yang perlu dihindari adalah adanya kecenderungan Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan daerah (Perda) berdasarkan kepentingannya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Sebab, pengaturan demikian, telah dan akan melahirkan “ketidakpastian” hukum bagi semua kalangan yang berkaitan dan berkepentingan dengan wilayah pesisir.


Langkah kedua merupakan kelanjutan dari yang pertama, yaitu penegakan aturan main terkait eksplorasi dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Para penegak hukum harus mengambil tindakan tegas bagi pihak-pihak yang melanggar hukum terkait pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan. Lemahnya law infocement akan mudah menyulut konflik sosial terbuka yang cenderung anakhis dan destruktif. Dan tentu saja onkos yang harus ditanggung untuk resolusi cukup mahal di samping juga butuh waktu yang relatif lama untuk mengembalikan pada kondisi semula (integratif).

Ketiga, peningkatan program konservasi lingkungan pesisir dan kelautan yang berorientasi produktif dan bernilai manfaat bagi masyarakat pesisir. Misalnya untuk menanggulangi kerusakan biota laut diupayakan program pembuatan rumpon laut. Keberadaan rumpon buatan berfungsi layaknya terumbu karang yang bisa berfungsi sebagai persemaian biota laut dan tempat yang nyaman bagi ikan-ikan yang bertelor. Sedangkan untuk penghijaun kawasan pesisir sekaligus untuk pemberdayaan ekonomi perlu diadakan reboisasi kawasan pesisir dengan penanaman hutan mangrove yang bernilai ekonomis. Sebagaimana dilaporkan koran Tempo (6/05/2007) terdapat tanaman mangrove jenis Brugueragym norrhiza yang memiliki buah seperti kacang panjang dan bisa dibuat sebagai bahan baku dodol. Ada pula jenis tanaman bakau yang buahnya bisa dibikin bahan baku donat, lumpia, onde-onde, kolak, puding, sirup dan rujak pedada. Beberapa jenis mangrove seperti Lumnitzera spp dan Pemphis acidula juga merupakan jenis tanaman bakau yang bagus untuk dibuat bonsai serta memiliki nilai ekonomi tinggi. Harga tanaman hias ini bisa mencapai 2 juta perbuah.

Keempat, revitalisasi kearifan lokal (local wisdom) sebagai gerakan budaya sadar lingkungan. Di dalam maind set-nya sudah barang tentu terpola structure of knowledge, yang mengilhami bagaimanan masyarakat pesisir dapat mempertahankan survival-nya. Apakah hal itu berasal dari pengalaman hidup ketika bersentuhan dengan alam sehari-hari, keyakinan agama yang dianut, serta norma-norma sosial maupun adat-istiadat yang diwariskan, yang kemudian jamak disebut kearifan tradisonal, ketika demikian itu tetap dilestarikan. Walhasil, agenda keempat ini terkait erat dengan latar belakang sosial-keagamaan dan budaya masyarakat pesisir.

Masyarakat pesisir dikenal sebagai penganut Islam yang taat dan militan. Pada domain ini, selayaknya nilai-nilai agama (Islam) menjadi inspirasi moral-kesadaran terhadap lingkungan. Meminjam bahasa Ronal Higgins, sebagai new ethic of conciousness, --yang harus ditumbuhkan melalui kehidupan spiritual seseorang. Maka di sinilah makna pentingnya peranan para tokoh agama (ustadz, guru dan kiai) mendakwahkan nilai-nilai profetik-transformatif agama menjadi gerakan nyata terhadap kelestarian lingkungan. Bukan sekedar menjadikan agama sebatas pada masalah peribadatan (mahdlah) atau liturgi per se. Tapi misi dan peranan agama harus sanggup menjawab persoalan dan tantangan masyarakat dan bangsa secara nyata.

Selanjutnya, dalam ikhiyar menjaga kelestarian lingkuangan kelautan maka agenda revitalisasi kearifan tradisional (pesisir), dalam konteks konservasi berwawasan budaya (adat), hendaknya mengembalikan entitas komunitas pesisir sebagai masyarakat yang jatidiri sesungguhnya adalah masyarakat ekologis. Bahwa seluruh jiwa dan raga mereka tidak bisa dipisahkan dengan laut. Menurut Keraf (2005: 280-281) dalam hal ini ada tiga hal yang perlu dijadikan tinjauan. Pertama, cara pandang masyarakat pesisir tentang dirinya, alam dan hubungan antara manusia dan alam (laut). Kedua, kekhasan pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat pesisir (adat), sekaligus menentukan pola hidup dan perilaku masyarakat pesisir terhadap alam. Dan ketiga, perlindungan hak-hak masyarakat pesisir karena dengan melindungi hak-hak mereka secara otomatis lingkungan sekitarnya juga ikut terlindungi.

Akhir kata penulis tegaskan, bahwa problem krisis ekologi lingkungan bukan semata-mata persoalan teknis parsial, melainkan persoalan holistik dan kompleks yang menyangkut aspek budaya, sosial, moral dan politik. Wallahu a’lam.


SHT
(Lakpesdam Tuban)

MENGGUGAT KEBERPIHAKAN ANGGARAN PUBLIK

Anggaran, APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), pada filosofinya bersumber dan milik rakyat, sehingga harus ditujukan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Keberpihakan suatu negara atau daerah terhadap rakyatnya, dapat dilihat dari arah kebijakan anggaran.

Anggaran yang diputuskan melalui proses politik, sangat dipengaruhi oleh komitmen politik rezim yang berkuasa. Ketidakberpihakan anggaran kepada rakyat pada suatu Negara atau daerah, menunjukan rezim yang berkuasa menghianati aspirasi rakyat yang memilihnya.

Beberapa permasalahan umum dalam pengelolaan APBD diantaranya adalah ketergantungan daerah terhadap APBD terhadap dana perimbangan masih tinggi. Hal ini menunjukan daerah belum sepenuhnya mampu menjalankan otonomi daerah. emampuan daerah dalam menggali PAD melalui potensi yang ada belum signifikan. Berdasarkan grafik di bawah, Pendapatan Asli Daerah tidak ada yang mencapai 40% dari total
Belanja daerah masih di dominasi oleh belanja aparatur ketimbang pelayanan publik. Walaupun pada beberapa daerah belanja pelayanan publik lebih besar, namun pada dasarnya di dalam belanja tersebut masih terdapat, belanja-belanja administrasi umum dan biaya pegawai. Selain itu, pada daerah tertentu seperti Kota Palu masih menggabungkan antara belanja aparatur dengan pelayanan publik.

Belum ada sepamahaman yang sama antara aparat di daerah dalam mengkategorikan, jenis belanja yang masuk dalam kelompok belanja aparatur dan pelayanan publik.

Sejak berlaku anggaran yang berbasis kinerja tahun 2002, sampai saat ini Daerah belum sepenuhnya mampu menerapkan anggaran Kinerja. Hal ini diindikasikan dari pengelompokan jenis belanja yang masih belum konsisten, dan penyusunan indikator kinerja belum dijadikan ukuran keberhasilan suatu unit kerja. Kelemahannya daerah tidak mampu menyusun indikator kinerja pada setiap kegiatan secara terukur.

Walaupun, pada beberapa daerah telah mencantumkan indikator kinerja, termasuk pengelolaan anggaran berbasis kinerja. namun indikator tersebut masih tidak realistis, yang berkonsekwensi langsung terjadinya pemborosan anggaran, inefisiensi dan berpotensi untuk di korup
Waktu penetapan APBD masih belum sesuai dengan batas waktu yang diberikan UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang menyatakan APBD ditetapkan paling lambat Bulan November atau 1 bulan setelah APBN ditetapkan.

Akibatnya, molornya penetapan APBD dan perubahannya berimplikasi pada terhambat proses pembangunan dan pelayanan publik. Realisasi anggaran yang terlambat, banyak proyek yang baru berjalan pada akhir tahun, sehingga membuka peluang terjadinya laporan fiktif penggunaan anggaran.

Berdasarkan hasil beberapa kajian, bentuk penyimpangan/korupsi anggaran sudah terjadi sejak awal proses perencanaan anggaran atau bentuk merencanakan korupsi. Pola yang terjadi pada sisi belanja, melakukan mark-up penetapan harga barang di atas harga pasar, barang yang menunjuk pada spesefikasi merk tertentu, dan pengalokasian proyek-proyek titipan dari kalangan yang dengan dengan eksekutif dan legislatif. Pada sisi pendapatan, melakukan mark-down penetapan estimasi pendapatan dibawah potensi pendapatan.

Bentuk korupsi dalam perencanaan anggaran berimplikasi pada realisasi anggaran, dimana terjadi proses tender tertutup, penunjukan langsung, dan proyek fiktif. Dalam tahap pertanggungjawaban, untuk menutupi korupsi pada saat implementasi anggaran dilakukan pembuatan laporan pertanggungjawaban fiktif. Contohnya kasus korupsi korupsi yang dilakukan oleh elit negara/daerah, Gubernur/walikota/bupati.

Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran negara, tidak hanya sebuah retorika komitmen moral semata tapi harus menjadi komitmen politik riil pemerintah-legislatif sebagai bentuk pencegahan dini terjadi pemborosan anggaran dan korupsi. Komitmen politik menjadi suatu keharusan hendak kemana republik ini dikelola?. Hal itu dapat diukur dalam angka-angka dokumen anggaran (APBDN/D) dan implemantasinya, apakah APBN/D yang diputuskan melalui proses politik berpihak pada rakyat miskin.

Transparansi dan akuntabilitas harus menyentuh seluruh proses kebijakan anggaran baik di level nasional maupun di daerah. APBN/D dalam proses perencanaan, pembahasan, pelaksanaan dan pertanggung jawabannya harus dilakukan secara terbuka sesuai pasal 23 (1) UUD 1945 dan UU no 17/2003 tentang Keuangan Negara, namun dalam kenyataannya dokumen anggaran masih dianggap sebagai rahasia negara serta proses penganggaran dan pengelolaan uang rakyat masih belum menunjukkan akuntabilitas yang sesungguhnya. Uang rakyat dalam APBN/D yang dijarah oleh para koruptor yang dikembalikan kepada negara hingga saat ini belum diumumkan kepada publik, baik bentuk lembaga yang mengelolanya, sumber dan besarannya maupun reorientasi peruntukannya.

Sejalan dengan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, semangat anggaran berbasis kinerja harus benar-benar diterapkan oleh seluruh perangkat kelembagaan yang mempergunakan uang rakyat, dari pusat sampai daerah. Perilaku menghabiskan anggaran harus dikenakan sanksi tegas sebagai tindak pidana korupsi. Wallahul alam.


Oleh:
Hadi Prayitno

(Lakpesdam Tuban)

Benteng Perekonomian NU di Era Post Globalisme

Melihat NU saat ini, berarti melihat pertarungan yang sangat ketat antara kemajuan yang telah diraih, kemunduran yang dialami, dan menatap tantangan kedepan yang begitu rumit. Kemajuan dan kemunduran NU mengalami tarik-ulur yang belum pernah selesai dari hal negatifnya yang selalu melingkupi, belum lagi tantangan kedepan yang masih membutuhkan kinerja yang ekstra, dan konsep kinerja yang lebih canggih. Kemajuan patut untuk ditingkatkan dan kemunduran mutlak untuk dibumihanguskan Secara eksplisit, kita harus memberikan apresiasi terhadap perjuangan para pemikir, kader, dan intelektual-intelektual NU yang selalu setia dalam jatuh bangun bersama NU, karena kemajuan NU selama ini tidak terlepas dari jerih payah mereka, baik yang berada di kalangan basis, ormas, lembaga suwadaya, NGO (yang kebanyakan terdiri dari kaum kritis), dan tataran elit baik yang di politik praktis maupun NU struktural. Banyak hal yang telah mereka lakukan, ada yang bergelut berjuang dalam bidang pemikiran keilmuan, perekonomian rakyat, ketatanegaraan (yang terwujud dalam wadah Partai Politik), dan banyak lagi yang lain. Ini tentu dilakukan dalam rangka memajukan NU; mensejahterakan dan memakmurkan NKRI.

Di balik itu, kemunduran pun dialami oleh NU, dari berbagai konflik yang terjadi, begitu pula adanya pendatang baru, ditambah lagi dengan arus globalisasi yang tanpa terasa telah merongrong jantung pertahanan NU, hal ini membuat langkah NU semakin tertatih-tatih. Problema inilah yang perlu untuk dituntaskan. Perlu adanya langkah dan konsep baru dalam merancang gerak langkah, begitu pula persatuan tekad, tujuan dan ikatan mutlak adanya untuk terwujudnya konsep baru tersebut dalam realitanya. Untuk meneruskan langkah NU ke depan bukanlah semakin mudah, melainkan akan semakin rumit, hal ini disebabkan karena tantangan yang ada di depan begitu besar dan kuat, keinginan untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang sejahtera dan adil dalam bingkai ‘kebangsaan” dan “keagamaan” menjadi sulit, bahkan kesejahteraan masyarakat sendiri bisa-bisa tergadaikan; pada realitanya, keadaan bangsa Indonesia saat ini semakin carut marut, gejolak reformasi yang sebelas tahun yang lalu bergemuruh, kini lambat laun meredup.

Penangan krisis dalam seluruh aspek masyarakat belum menampakkan hasilnya. Euphoria masyarakat akan kebebasan dalam berpolitik justru membuat masyarakat terlena akan tugas utama, bangkit dari keterpurukan. Para pemimpin bangsa pun sibuk dengan urusa politik dan kepentingan kelompoknya. Yang terjadi kemudian justru konflik kepentingan yang tak terhindarkan.
Berharap pada politisi untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara seakan menjadi utopia. Justru kini masyarakat semakin sengsara akan kondisi perekonomian bangsa. Harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya semakin tak terjangkau, sebagai akibat dari lonjakan harga minyak mentah dunia, belum lagi adanya krisis global yang melanda, seiring dengan itu jumlah penduduk miskin semakin bertambah.

Di balik meja kekuasaan, korupsi semakin merajalela dengan modus yang semakin canggih cara melakukannya. Nyaris tak kentara, kalaupun dapat dicium aparat penegak cara mengelakpun sudah didapat. Predikat Negara terkorup pun seakan enggan lepas dari negeri kita. Para bandit Negara belum akan berhenti sebelum dasi mereka sendiri mencekiknya, lengkap sudah penderitaan rakyat. Oleh karena itu, dalam merspon hal inilah maka kemajuan yang telah diraih NU mutlak untuk ditingkatkan. Permasalahan-permasalahan yang kini sedang tersenyum manis harus segera mendapat respon dengan melahirkan konsep dan ide-ide yang canggih dalam menanggulanginya.

Era post globalisme

Dalam menentukan konsep dan sebuah ide atas permasalahan sebagaimana yang penulis ungkapkan di atas, perlu adanya analisis terhadap varian-varian yang melingkupi dan asal mula penyebab masalah itu terjadi hingga konsekuensi yang dirasakan oleh masyarakat. Namun dalam kesempatan ini penulis akan mengkritisi, melihat varian, dan asal mula penyebab masalah yang terkait dengan kesejahteraan ekonomi rakyat. Di era post globalisme ini, hal yang akan sulit didapatkan adalah kesejahteran, terutama kesejahteraan dalam bidang ekonomi. Pertarungan ekonomi dunia akan semakin ketat dan panas. Pasar global akan segera merebak ke seantero dunia, para pelaku ekonomi kecil dan menengah akan menelan erosi kekalahan yang sangat hebat, ironisnya para pelaku ekonomi kecil dan menengah ini adalah bais riil warga NU. Varian dalam bidang ekonomi ini adalah didalangi oleh sistem ekonomi kapitalis-neoliberalis.

Dalam kaitannya dengan negara-negara di dunia (yang saat ini banyak mengadopsi sistem kapitalis), posisi Indonesia hanyalah negara yang berada di titik pinggiran, yang menyediakan kekayaan alamnya untuk disedot ke pusat-pusat negara maju dengan cara meminjam uang ke negara maju dan dengan penanaman modal asing. Penduduk yang besar dan dengan kekayaan alam yang melimpah justru menjadi hadiah berharga bagi negara-negara maju, dulu kolonialisme fisik sekarang imperialisme neoliberal. Posisi pinggiran dan miskin secara nasional perlu menjadi kesadaran seluruh warga bangsa, Indonesia bukan negara maju, bukan negara merdeka secara de facto, bukan negara yang cukup berwibawa dan jelas bukan negara makmur sejahtera. Indonesia adalah negara miskin dengan kekayaan alam melimpah, yang di eksploitasi terus menerus oleh negara maju dan dikuasai oleh Negara asing dalam bentuknya yang paling canggih.

Dengan demikian akanlah tampak jelas bahwa di era post globalisme, kehidupan masayarakat Indonesia akan semakin sulit dan terjepit, karena kebanyakan masyarakat Indonesia berada pada garis kemiskinan bahkan dibawah garis kemiskinan. Mereka akan sulit untuk mendapatkan bahan makanan pokok sehari-hari karena melambung tingginya harga bahan-bahan pokok tersebut, dan sekali lagi penulis tegaskan, bahwa masyarakat Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan dan pelaku ekonomi lemah-menengah kebanyakan dari mereka adalah basis riil masayarakat NU. Siapakah yang akan peduli dengan mereka !

Skema Benteng Perekonomian


Peristiwa yang menghawatirkan pada era post globalisme ini, perlu mendapat respon aktif-kreatif adanya sebuah ide dari NU, guna mengembangkan masyarakat basis riilnya. Pengembangan masyarakat yang bermuara pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan kebutuhan dan permasalahan masyarakat sebagai subyek atau obyek, sedangkan kebutuhan masyarakat itu selalu berkembang dan permasalahan masyarakatpun hampir tak pernah absen di semua lapisan masyarakat, baik secara moril maupun materiil, maka sesungguhnya pengembangan masyarakat akan selalu mendapat tempat sepanjang masa di masyarakat manapun (KH Sahal Mahfudh, 1994 : 356)
Respon aktif-kreatif inilah yang akan membawa basis masa NU dari keterpurukan dan kekalahan.

Perjuangan akan adanya peningkatan pada masyarakat bawah bila kita lihat bahwa sangat singkron dengan asas-asas yang diajarakan oleh baginda Rasulullah SAW untuk memberikan makna dalam kehidupan masing-masing individu, asas ini berupa “sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat bagi orang lain”, dengan demikian dalam hidup kita tidak layak jika hanya memikirkan diri sendiri tanpa harus memberikan manfaat pada orang lain, karena kehidupan yang demikian adalah menjalani kehidupan yang percuma karena tak bermakna. Konsekuensi dari kehidupan yang memberikan manfaat pada orang lain adalah bila kita meraih kesejahteraan bukan karena penindasan terhadap orang lain tapi karena kesejahteraan yang diraih berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Berkaitan dengan dasar dan kondisi inilah sekema benteng perekonomian NU harus dibentuk. Wujud atau bentuk skema benteng ini bahwa NU harus menciptakan atau memiliki Geng yang besar, Geng yang mampu mengakomodir gerak perekonomian warga NU.

Di samping itu Geng ini bisa dibantu oleh partisipasi masyarakat itu sendiri atau lembaga-lembaga suwadaya masyarakat yang memiliki animo dan orientasi sesuai ideologi Nahdliyin.
Gerak perekonomian warga NU yang penulis maksud di sini adalah gerak perekonomian yang hanya memutar di kalangan masyarakat NU. Antara permintaan dan penawaran hanya berpindah dari satu tangan warga NU ke tangan warga NU yang lain bukan ke pihak asing atau pelaku sistem kapitalisme, pemenuhan kebutuhan dari pembelian dan penjualan hanya disalurkan ke sesama warga berbasis NU bukan ke pihak lain yang mengadopsi sistem kapitalis-neoliberalis.

Dengan hal ini maka perekonomian NU akan aman dari ancaman yang mematikan.
Itulah wujud atau bentuk skema benteng pertahanan perekonomian NU di tengah arus globalisasi, sebuah sistem pertahanan yang melingkar di tengah derasnya arus globalisasi. Dengan benteng pertahanan ini NU akan mampu survive dalam menghadapi masa depannya demi kesejahteraan dan keamanan warganya. Disamping itu harus ada pemberdayaan atas masyarakat yang ekonomi lemah oleh kalangan masyarakat yang ekonomi kuat, hal terakhir ini pun akan semakin membantu tegak dan kuatnya benteng pertahanan ini dan kesejahteraan pun akan semakin merata.




(sumber: www.nu.or.id)

Tugas Organisasi Kemasyarakatan

Sekian lama organisasi kemasyarakatan (ormas) menghadapi tantangan tunggal yakni sistem pemerintahan otoriter. Namun setelah sistem otoriter tunggal itu tumbang tidak berarti tantangan hilang sehinga kita bertopang dagu. Tantangan baru yang muncul lebih besar dan lebih luas spektrumnya. Tantangan tidak hanya bersifat politik yang represif, tetapi juga tantangan ekonomi dan ancaman budaya. Tantangan sebelumnya membuat kehidupan sosial mencekam, tertib, sedikit tenang, tetapi menjadi stagnan. Sementara tantangan baru ini adalah munculnya kehidupan baru yang dinamis tetapi diwamai dengan kehidupan sosial porak-poranda, tidak ada tertib sosial atau tertib sipil.

Ini menunjukkan kita sedang dalam gerak ekstrem dari pendulum orde baru yang kaku ke orde yang lain yang sebenarnya belum diketemukan karena itu proses ini penuh dengan trial, penuh kekacauan yang bergejolak dengan ujung yang belum pasti. Dalam situasi seperti ini ormas dan juga kelompok yang lain dituntut untuk mampu menjaga independensi warga atau melindungi warga dari segala tantangan yang mengancam kemandiriannya, dalam arti pilihan politiknya, keterjaminan ekonominya termasuk menjaga kepribadiannya. Kesemuanya ini merupakan basis eksistensi masyarakat yang mesti dipenuhi keberadaannya.


Langkah-Iangkah yang dilakukan oleh ormas, khususnya ormas agama dalam mendidik, dan membimbing serta melindungi masyarakat yang kepedulian utamanya adalah persoalan moral, menjadi sangat penting menghadapi berbagai tantangan. Sebenarnya berbagai langkah eksperimentasi tadi sesuatu yang positif, hanya saja semuanya dijalankan dalarn waktu serentak sehingga tidak ada kesiapan dari semua pihak, baik pemerintah, rakyat termasuk ormas sendiri. Sehingga dalam situasi seperti ini ormas sangat kesulitan menjalankan perannya untuk menjaga kemandirian warga dari intervensi dari luar baik yang bersifat politik dari negara, ekonomi dari korporasi besar, maupun secara budaya yang menceraiberaikan mental dan kepribadian yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri dan terhentinya kreativitas.

Proses pencarian ini tejadi di tengah masyarakat yang tidak terintegrasi dan tidak terkonsolidasi sehingga tidak ada kepentingan bersama yang bisa dikompromikan tidak ada rasa saling percaya yang bisa dijadikan platform bersama, maka diwujudkan dalam keretakan sosial yang nyata dengan diwujudkan dalam pendirian partai politik yang banyak jumlahnya yang melebihi jumlah aliran atau ideologi yang ada, tetapi sebanyak kepentingan yang ada. Sebelum ada konsolidasi sosial yang dilakukan dengan cara menumbuhkan rasa saling percaya, maka konsolidasi warga sulit terjadi karena masing­-masing kelompok akan menyeret bahkan memprovolasi setiap orang untuk bergerak kea rah persainingan individu yang tanpa dibarengi tangungjawab kelompok, maka tidak ada saling kerja sarna dan saling melindungi.


Dalam kondisi seperti ini ormas terutama ormas berbasis agama akan mengalami kesulitan besar, karena organisasi ini sepenuhnya berdasarkan kesukarelaan dan menuntut adanya dedikasi yang tinggi dari anggotanya, tetapi dengan adanya semangat individualisasi, semangat monetisasi setiap aktivitas dan tindakan, sementara ormas tidak selalu cukup bisa melakukan pembinan mental warga yang tengah dikomersialisiasi, mengakibatkan surutnya peran ormas dalam menjaga masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya.

Sebenamya ormas-ormas telah memiliki platform ini hanya saja agak diabaikan yaitu Pancasila. Kalau dalam undang-undang keormasan orde baru demi stabilitas Pancasila sangat ditekankan, tetapi sebagai sarana dominasi. Sebaliknya dalam rancangan banding yang dibuat oleh kalangan LSM dengan semangat liberaltasnya maka agak mengabaikan platform yang telah ada ini, sementara platform baru tidak ditumbuhkan. Kalau rencana itu dijalankan akan mengakibatkan friksi sosial. Pancasila perlu ditempatkan secara proporsional, harus kita tempatkan di luar interes orde yang ada baik lama maupun yang baru, karena platform ada jauh sebelum kedua orde itu lahir. Sejarah telah membuktikan bahwa dengan platfor itu banagsa ini telah mewujudkan Indonesia Raya yang multi etnis, multi ras dan multi agama serta multi ideologi bisa bertemu bersama untuk membentu suatu negara dan kehidupan bersama.

Selain platform bersama, hal penting lainnya adalah melakukan
empowering people, hal ini diperlukan untuk mewujudkan cita-cita kedaulatan rakyat. Dengan adanya kedaulata rakyat itulah rakyat ada dan bisa beraktivitas. Inti kedaulatan rakyat adalah adanya otonomi bagi masing-masing individu, sehingga mampu mengatur dirinya sendiri. Namun demikian tetap berpijak pada tanggungjawab sosial sebaagai warga negara perlu diperkuat.

Empowering government juga sangat mendesak. Pemerintah sebagai pemangku mandat rakyat untuk mengurus segala keperluan bersama, tidak hanya melayani keprluan masyarakat, tetapi juga menjaga keutuhan dan keamanan negara, memang dibutuhkan pemerintahan yang berwibawa stabil dan kuat. Kalau pemerintahan tidak memiliki kewibawaan, akhirnya tidak kuat dalam mempertahankan prinsip hukum dan moral, akhimya pemerintah tidak mampu melindungi dan melayani masyarakat, termasuk tidak mampu menjaga kedaulatan negara. Maka yang terjadi seperti sekarang ini pemerintah telah menjadi alat siapa saja, baik pengusaaha, bisa jadi kelomppok mafia, calo dan sebagainya sehingga bisa dilihat hampir mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Jangan sampai ketakutan terhadap otoritarianisme membuat kita takut pada pemerintahan yang kuat.

Hal lainnya adalah upaya
reinventing state. Ormas bukanlah non-governmental organizations (NGO), maka eksistensi state dan government dipandang sebagai entitas yang sangat penting sarana kehidupan bersama. Ormas besar di Indonesia lahir sebelum negara ada, sejak awal ormas bersama kekuatan politik lain berjuang untuk membangun negara Indonesia, sejak terlibat dalam perang, proses perumusan konstitusi hingga membentuk pemerintahan. Reinventing state ini dalam arti menempatkana negara sebagai satu kesatuan wilayah yang menjadi wahana di mana segenap aspirasi politik, modal ekonomi dan gagasan kebudayaan, dan agama bisa diekapresikan secara bebas dan aman. Dengan penempatan negara seperti itu maka eksistensi bangsa yang selama ini sudah ada bisa ditegakkan dan dilindungi oleh negara dalam satu wilayah yang kokoh dan utuh. Dalam Negara selalu ada wilayah, ada pemerintah juga terpenting ada rakyat. Mereka berada dan berlindung dalam satu wilayah yang disebut dengan negara.

Kesemua hal tersebut tidak bisa dipisahkan. Dalam kondisi yang tidak menentu ini akhirnya bola panas masalah ini banyak ditumpahkan ke ormas, sementara ormas tidak sepenuhnya siap dan mampu menanggung beban ini. Ormas masih perlu membanahi diri, mengkonsolidasi diri, sebab lemahanya basisi ekonomi serta terbatasnya inftastrukur yang dimiliki peran yang dijalankan tidak cukup besar. Penguatan peran ini masih menunggu konsolidasi, ini mendapat peluang besar karena ormas memiliki jaringan keatas dan kebawah cukup kuat, lagi pula sistem pergantian pengurusana yang relatif lancar dan berkesinambungan membuat ia lebih bisa diandalkan ketimbang partai apolitik pada umumnya yang selalu terputus dan terpecah, kalaupun tetap utuh cepat berubah, mengikuti tawaran dari luar.


Karena restrukturisasi sosial zaman orde baru didahului oleh restrukturisasi politik, maka sudah sewajarnya kalau restrukturisasi sosial pasca reformasi ini juga dimulai dengan restrukturisai politik, antara lain dengan melakukan berbagai perombakan atau revisi terhadap UU yang ada, agar sesuai dengan kondisi politik yang lebih terbuka dan lebih demokratis. Restrukturisasi sosial yang dilakukan melalui undang-undang keormasan hendaklah mengacu pada problem-problem riil yang dihadapi ormas agar ormas bisa kembali berperan secara maksimal.

Jangan sampai undang-undang baru dirumuskan malah menyerimpung ormas dalam bentuk yang lain sehingga hanya memberikan peluang kepada ormas sebagai sapi perah bagi kekuatan lain, sehingga perannya menjaga independensi, melindungi masyarakat dari berbagai ancaman politik, ancaman ekonomi dan ancaman kebudayaan masyarakat tetap tidak terwujud. Padahal dengan undang-undang baru kita berharap memberikan ormas berperan lebih besar dalam menjalankan tugas sosial mereka.



(
Abdul Mun'im DZ)
sumber: www.nu.or.id

Karakter Tawassuth, Tawazun, I'tidal, dan Tasamuh dalam Aswaja

Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya:

Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً

Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).

Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)

Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)

Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:

فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44) Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206). Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)

1. Akidah.
  • Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
  • Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
  • Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.

2. Syari'ah
  • Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung­jawabkan secara ilmiah.
  • Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i).
  • Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).
3. Tashawwuf/ Akhlak
  • Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
  • Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
  • Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4. Pergaulan antar golongan
  • Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
  • Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
  • Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
  • Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
5. Kehidupan bernegara


  • NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
  • Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
  • Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
  • Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.

6. Kebudayaan
  • Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
  • Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
  • Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-­muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).
7. Dakwah
  • Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
  • Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
  • Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.

KH Muhyidin Abdusshomad
Pengasuh Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember

Pendapatan Pejabat di Luar Gaji Pokok

Telah diketahui bahwa gaji pokok para bupati, gubernur, anggota dewan perwakilan rakyat dan para pejabat lainnya jelas-jelas tidak dapat menutup biaya yang dikeluarkan selama masa kampanye. Namun nyatanya masih saja banyak yang berminat. Hal ini lantaran para calon pejabat yakin penghasilan di luar gaji pokok atau biasa disebut dengan ceperan itu jumlahnya lebih banyak, seperti dari persenan (fee) para kontraktor yang menang tender, serta uang lembur, tunjangan-tunjangan dan lain-lain yang yang melebihi dari gaji pokok dan jumlahnya berlipat-lipat.

Bagaimanakah konsep fiqh tentang pendapatan di luar gaji pokok di atas. Halalkah pendapatan di luar gaji pokok itu?

Dalam beberapa kitab mu’tabarah yang menjadi rujukan pesantren seperti Bughyatul Mustarsyidin, Roudlotut Tholibin, I’anatut Tholibin, Ahkamus Shulthoniyah, Ihya` Ulumiddin, Ta’liqatut Tanbih fi Fiqhis Syafi’i dan Al-Bajuri tidak ada penjelasan secara khusus mengenai gaji pokok dan gaji ceperan untuk para pejabat.

Dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin secara sederhana dijelaskan bahwa gaji para hakim, juga para wakil rakyat yang bekerja untuk kemaslahatan umat diambilkan dari kas negara (baitul maal), dengan kadar yang pantas dan tidak berlebihan. Selanjutnya, setelah mendapatkan gaji itu, para pejabat tidak diperkenankan mengambil imbalan dari dua orang yang sedang bertransaksi, para hakim tidak boleh memungut sesuatu pun dari pihak-pihak yang bermasalah, dan para petugas nikah atau Kantor Urusan Agama (KUA) tidak boleh menerima pemberian dari orang yang melangsungkan akad akad nikah.

Para hakim diharamkan menerima suap (riswah). Dalam Roudlotut Thalibin, mengutip Syeikh Abu Hamid, dijelaskan, jika pun kas negara tidak cukup dana (rizki) untuk menggaji para hakim, maka diperkenankan meminta rizki kepada pihak-pihak bermasalah dan disepakati sebelum permasalahan disidangkan. Penjelasan serupa juga ditemukan dalam kitab I’anatut Tholibin.

Persoalan penghasilan di luar gaji pokok dikaitkan dengan pembahasan tentang riswah atau suap. Namun dalam banyak pembahasan, riswah dibedakan dengan pengertian hadiah. Dalam kitab Ihya` Ulumiddin disebutkan, Imam Ghazali ditanya, apa mungkin riswah dan hadiah dibedakan, toh keduanya tidak mungkin diberikan tanpa ada maksud, kenapa riswah dilarang sementara hadiah tidak, apa yang membedakan keduanya?

Imam Ghazali menjawab, memberikan sesuatu kepada orang lain memang tidak mungkin tanpa maksud. Dalam penjelasan yang panjang lebar Imam Ghazali menjelaskan bahwa pemberian itu sejatinya dimaksud untuk mendekatkan diri dengan pihak yang diberi, atau si pemberi berharap akan memperoleh dampak dari pemberian itu. Jika si pemberi sekedar berharap mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dengan pemberian itu maka hukumnya maksuh saja, dan ini adalah hadiah. Sementara jika pemberian itu dimaksud untuk mempengaruhi keputusan hakim atau kebijakan pemerintah, atau si pemberi memberikan hadiah kepada para hakim dan pejabat atas kebijakan yang menguntungkan dirinya, maka itu adalah riswah.

فَإنْ كَانَ جَاهُهُ بِوِلَايَةٍ تَوَلَّاهُ مِنْ قَضَاءٍ أوْ عَمَلٍ أوْ وِلَايَةِ صَدَقَةٍ أوْ جَبَايَةِ مَالٍ أوْ غَيْرِهِ مِنَ اْلأَعْمَالِ السُّلْطَانِيَةِ حَتَّى وِلَايَةِ الْأَوْقَافِ مَثَلاً وَكَانَ لَوْلَا تِلْكَ اْلوِلَايَةِ لَكَانَ لَايَهْدَى إلَيْهِ فَهَذِهِ رِشْوَةٌ عَرَضَتْ فِيْ مَعْرِضِ الْهَدِيَّةِ-- إحياء علوم الدين؛ ج 2/ ص 152-153

Apabila hadiah itu diberikan berkaitan dengan jatuhnya keputusan pengadilan, atau pencairan dana sosial dan berbagai kebijakan pemerintah yang lain seperti terkait wakaf, dan jika tanpa maksud itu seseorang tidak akan memberikan hadiah maka yang semacam ini disebut riswah (suap), meskipun kelihatannya seperti hadiah. (Ihya’ Ulumiddin 2: 152-153) Maka kembali kepada pertanyaan di atas, berdasarkan beberapa uraian dalam kitab-kitab mu’tabarah tersebut, bisa disimpulkan bahwa pendapatan yang diperoleh dari hasil ‘main mata’ dengan para kontraktor berupa uang persenan hukumnya adalah haram, sekalipun ada Undang-Undang yang membenarkan ini. Sedangkan pendapatan lain yang didapat dari gaji lembur atau berbagai fasilitas tambahan yang diberikan dari negara dibolehkan sepanjang itu setimpal dengan jerih payah yang dilakukan dalam mengurus rakyat atau mewujudkan kemaslahatan umat. Definisi setimpal ditentukan oleh adat atau berdasarkan rata-rata penghasilan masyarakat setempat (qadra kifayatil laiqah min ghairi tabdzir), atau mungkin tepatnya tidak terlalu jauh melebihi upah minimum regional (UMR).-- Disarikan dari hasil bahtsul masail Diniyah Waqiiyah Syuriyah PWNU Jawa Timur di Pondok Pesantren Ihyaul Ulum, Dukun, Gresik. Pertanyaan tentang gaji lebihan pejabat ini diajukan oleh PCNU Blitar. (A. Khoirul Anam)

Hubungan Egaliter Antarbangsa

Sebelum adanya fenomena penjajahan, hubungan manusia sedunia ini bersifat lebih egaliter. Kalaupun ada perang, selalu dapat diselesaikan, bahkan kemudia dua bangsa dua Negara, dua kerajaaan saling kawin mawin, bertukar kebudayaan, sehingga menghasilkan perdamaian abadi antara bangsa. Tetapi, sejak datangnya penjajahan Eropa terhadap bangsa Asia dan Afrika serta Amerika Selatan, hubungan antarnegara menjadi tidak lagi setara, tidak lagi bersahabat. Sebaliknya, mereka saling menjajah dan mendisdiskriminasi secara agama, secara budaya dan secara rasial.

Westernisasi dan terutamna Eropanisai terjadi di mana-mana dengan misi civilisasi, pemberadaaban. Jadi penjajahan itu memperoleh jubah yang sangat mulia dengan selubung pemberadaban. Sebab bangsa, selain Eropa, semaju apapun dianggap tidak beradab ketika menolak budaya Eropa yang menjajah. Berbagai kerajaan, pusat kebudayaan dan sumber sejarah dihancurkan. Semuanya diganti dengan selera dan kultur Eropa yang dianggap beradab. Eropanisasi kemudian modernisasi merupakan satu paket dalam penjajahan ini.

Sebenarnya apa yang disampaikan Presiden Amerika untuk menjalin hubungan yang lebih bersahabat dengan Dunia Timur itu tidak perlu diserukan kepada dunia timur yang tidak mengenal penjajahan dan tidak mengenal diskriminasi. Justeru Negara Barat yang terus melakukan diskriminasi itu yang harus dijadikan sasaran pidato pimpinan Amerika itu. Ini kunci untuk menjamin perdamaian dunia di masa depan, yang harus dimulai dengan sekarang. Ajakan melakukan perbaikan hubungan baik saling pemahaman itu langkah yang salah. Bukankah dunia Islam dan dunia Timur pada umumnya siapa melakuakn kerjasama, tetapi selalu dimanipulasi dan direprasi, melalui saluran diplopmatik dan saluran mahkamah internasional.

Ketika terjadi penyatuan budaya atau lebih tepat penunggalan budaya, maka ekpresi kebudayaan lain selain mainstream dianggap sebagai kebudayaan liar, primitive, subversive. Dari situ kemudian distigma sebagai teroris. Bila sudah demikian maka yang dibangun adalah benturan budaya. Benturan yang semula bersifat politis ini menjadi benturan sosial, sehingga pengaruhnya menjadi sangat luas antarmasyarakat, bukan lagi antarelite pemimpin.

Ini yang terjadi sekarang ini. Islam telah didiskriminasi dan dicitrakan sedemikian rupa sehingga dianggap sebagai penggerak kekerasan. Lalu kalangan Islam yang risau dengan segala tenaga menampik tuduhan itu. Bahkan, penampikan tuduhan itu dengan melakukan tindakan berlebihan agar Islam dianggap sesuai dengan selera budaya mereka, Di mata Muslim yang risau terhadap citra dirinya itu, Islam menjadi sesuatu yang naïf oportunis, karena kehilangan identitas, kehilangan prinsip dan kehilangan harga diri. Prinsip telah digadaikana dengan citra dan selera mereka.

Problem sosial budaya seperti itu yang masih dihadapi dunia modern dewasa ini untuk melakukan kerjasama dan hubungan antarbangsa yang saling menghormati dan menguntungkan, non-diskriminasi dan non-kolonisasi. Ini baru bisa dianggap langkah baru. Bukan sekadar himbauan setiap musim kebijakan lalu ganti. Berbagai perang terjadi di dunia Timur karena adalah imbas dari perang yang ada di dunia Barat sana, yang tidak lain merupakan perang dagang lalu disulut dengan api agama, api etnis, sehingga mudah didiskriminasi sebagai bangsa yang primitif dan brutal.

Pembuatan stereotype terhadap bangsa Timur dengan melakukan provokasi politik semacam itu terus terjadi di Asia dan Afrika. Hampir setiap konflik masih berpola kerusuhan seperti itu. Kalau hal ini yang masih terus terjadi, maka ajakan untuk menata hubungan dunia yang baru itu bersifat manipulatif, tidak berangkat dari ketulusan hati yang berangkat dari kesetaraan budaya. Kalau soal hubungan antarmanusia dan budaya itu sudah ditata secara lebih egaliter, maka hubungan antarbangsa yang bersifat politik baru bisa diwujudkan secara hakiki.

(Abdul Mun’im DZ) sumber : http://www.nu.or.id

Bumi Semakin Rusak, Akibat Ulah Manusia

DENPASAR, Sedikitnya telah terjadi sepuluh jenis kerusakan di muka bumi akibat ulah manusia, sehingga menimbulkan berbagai konflik dan permasalahan. Salah satu kerusakan bumi tersebut, naiknya suhu bumi yang sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim, kata Drs I Ketut Wiana, dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Jumat (5/6). Ia mengatakan hal itu ketika tampil sebagai pembicara pada konferensi internasional yang membahas tentang agama dan budaya, termasuk keterkaitan air pada South and Southeast Asia Association for Study of culture and religion (SSEASR) ke-3, yang melibatkan 506 peserta dari 61 negara.

"Naiknya suhu bumi sangat memengaruhi iklim global yang kondisinya semakin tidak menentu. Musim hujan melebihi batas waktu dan musim kering dirasakan jauh lebih kering dari biasa," kata Wiana yang juga pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), majelis tertinggi umat Hindu.

Dampak tidak menentunya iklim kini sangat serius bagi kehidupan umat manusia maupun kehidupan bidang pertanian, yang menjadi sumber kehidupan umat manusia. Prof Emil Salim berpendapat, sepuluh kerusakan bumi akibat bergesernya gaya hidup manusia dari needs ke wants, yakni dari hidup berdasarkan kebutuhan menjadi hidup berdasarkan keinginan. Kondisi itu menyebabkan ada pihak yang hidup berlebihan, namun tidak sedikit pula yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Untuk itu perlu kesadaran dan peran semua pihak untuk mengatasi kerusakan lingkungan khususnya perubahan iklim dengan menghijaukan dan menghutankan lahan kritis di muka bumi.
"Upaya yang memerlukan gerakan berkesinambungan dan waktunya cukup lama tersebut, sekaligus untuk menyediakan air buat kebutuhan bagi umat manusia dan makluk hidup lain," tutur Ketut Wiana.

BNJ
Sumber : Ant

Hutan Indonesia Potensi Datangkan Devisa Rp 33 Triliun Per Tahun

Rabu, 6 Mei 2009 | 23:47 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Departemen Kehutanan berupaya mencegah kerusakan hutan dan berharap besar pada skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD) yang akan diputuskan dalam pertemuan COP (Conference of the Parties) ke-15 di Kopenhagen, Denmark.

"Skema REDD sangat menguntungkan secara ekonomi karena dapat memberi suntikan dana dari negara-negara maju sebesar 3,75 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 33,75 triliun per tahun," kata Menhut MS Kaban pada seminar lingkungan yang diselenggarakan Center for Information and Development Studies (CIDES) di Jakarta, Rabu.

Dengan skema ini akan lebih memungkinkan bagi Indonesia sebagai penyedia hutan penyerap karbon untuk memperoleh insentif dari negara-negara maju penghasil karbon yang berkewajiban menurunkan emisinya, ujarnya.

Menurut dia, karena implementasi COP ke-15 diharapkan bisa diberlakukan pada 2012, maka Indonesia masih memiliki waktu untuk mengoptimalkan keuntungan melalui perdagangan karbon dari skema REDD ini.

"Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi penonton negara-negara berhutan tropis lainnya yang berhasil memperdagangkan jasa pengurangan emisi karbonnya," tambahnya.

REDD, urainya, merupakan isu kompleks dan berkaitan erat dengan bervariasinya penyebab deforestasi, keterkaitan dengan kebijakan pembangunan nasional, hingga peluang pasar internasional terhadap hasil hutan.

"Dalam kaitan ini kita dituntut kerja keras mempertahankan keutuhan hutan dari perambahan, penebangan liar, kebakaran hutan dan pembukaan hutan tanpa rencana. Ini menuntut kerja sama dari semua pihak," katanya.

Pihaknya, ujar Menhut, sedang menyusun Road Map (peta jalan) REDD yang terbagi dalam tiga fase yakni, fase persiapan yakni pada 2007 sebelum COP ke-13 dengan menyiapkan perangkat metodologi, strategi implementasi REDD, konsultasi hingga penentuan kriteria pemilihan lokasi kegiatan pilot.

Fase transisi yang dilakukan pada 2008-2012 akan menguji metodologi dan strategi dari mekanisme berdasarkan pendanaan ke mekanisme pasar. Fase implementasi penuh pada 2012 akan diterapkan dengan tata cara berdasarkan kesepakatan yang diambil COP ke-15 serta ketentuan di Indonesia sendiri.


WAH
Sumber : Antara
Akses http://m.kompas.com dimana saja melalui ponsel, Blackberry atau iPhone Anda.

Gravitasi Matahari dan Reklamasi Sebabkan Air Laut Pasang


Pengaruh gravitasi matahari ke bumi menyebabkan terjadinya fenomena air laut pasang di sekitar pesisir utara Kota Surabaya. Dalam beberapa hari ini, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Maritim Perak mencatat peningkatan ketinggian air laut sebanyak 150 sentimeter di atas permukaan air laut.

"Saat ini posisi bumi berada di antara matahari dan bulan. Karena bumi berada satu garis dengan matahari, maka pengaruh daya gravitasi matahari menyebabkan terjadinya fenomena air laut pasang," ujar Staf ahli meteorologi dan geofisika BMKG Maritim Perak Eko Prasetyo, Selasa (26/6) di Surabaya.

Menurut Eko, dalam tiga tahun terakhir, air laut pasang selalu terjadi di kawasan pesisir utara Jawa Timur. Jika dalam kondisi normal, rata-rata ketinggia n air pasang mencapai 110 hingga 120 sentimeter dari permukaan laut, kini peningkatan air pasang mencapai 150 sentimeter dari permukaan laut.

Reklamasi pantai

Selain akibat gravitasi matahari, fenomena air laut pasang juga disebabkan karena maraknya reklamasi atau penimbunan di daerah pesisir pantai. Reklamasi pantai mengurangi tempat-tempat limpahan air pasang sehingga air meluap hingga ke daratan.

"Berdasarkan analisa, air pasang juga disebabkan karena aktivitas reklamasi, pembangunan pemukiman, serta gudang-gudang yang banyak bermunculan di daerah pesisir utara," kata Eko.

Peneliti Pusat Studi Bencana Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Sepuluh Nopember Amien Widodo mengatakan, Dinas Bina Marga dan Pematusan Surabaya diharapkan mulai mengamati, mengukur,dan memetakan air laut pasang. Beberapa hal yang perlu dipetakan adalah, luas areal genangan, lama dan kedalaman genangan, kecepatan arus atau debit air pasang, serta pendataan bangunan dan infrastruktur vital yang tergenang.

"Data ini sangat penting untuk perencanaan langkah kontigensi bila nanti air pasang terjadi bersamaan dengan banjir sungai," jelasnya.

New Legislator vs Capacity Building

Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD telah usai dan terlaksana dengan berbagai dinamikanya. KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/ Kota telah menetapkan calon yang memenuhi syarat dan perolehan suaranya menjadi anggota legislator baru sesuai dengan tingkatan yang ada.

Banyak teridentifikasinya praktek politik uang dan kecurangan yang dilakukan oleh calon terpilih maupun penyelenggara KPU menimbulkan pertanyaan baru di benah sebagian besar kelompok masyakarat yang peduli dengan perkembangan kualitas demokratisasi di negeri ini. Apakah calon terpilih telah memenuhi kualifikasi dasar sebagai seorang legislator? Bagaimana keahlian mereka terhadap minimal tiga fungsi utama, yaitu: legislasi, budgeting dan pengawasan.

Apapun hasil pemilu, negara telah melegalisasi dan mengesahkan hal tersebut sesuai aturan perundangan yang berlaku dan tidak patut dipersoalkan terlalu berlebihan. Tetapi di lain sisi, anggota legislator (khususnya DPRD Kab/ Kota) tidak boleh dibiarkan terpuruk dalam keterbatasannya sehingga tidak mampu melaksanakan tugas fungsinya secara maksimal, dan pada akhirnya mengorbankan amanat rakyat yang telah dimandatkan kepada mereka.

Oleh karena itu, demi menjaga keseimbangan peran dalam sistem pemerintahan (check and balances system), dan tidak adanya kesenjangan antara eksekutif dan legislatif, perlu dilakukan peningkatan kapasitas anggota DPRD periode 2009-2014 sekaligus mengawal kinerja nya agar tetap berada dalam frame aturan dan tentunya lebih mengedepankan kepentingan masyarakat (konstituen) yang telah memilihnya.

Hal itu dilakukan karena otoritas DPRD tidak sekuat dulu lagi untuk mengendalikan kebijakan Kepala Daerah karena sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat, disamping juga kapasitas institusi dan struktur pemerintah daerah (eksekutif) lebih siap melalui keberadaan dinas, badan, camat dan kepala desa untuk mempercepat arus komunikasi dan jaring informasi pembangunan yang lebih akurat datanya.

Padahal kapasitas lembaga legislatif masih sangat parsial ke fraksi-fraksian dan tidak mempunyai jalur formal ke bawah serta jarang sekali mempunyai data akurat dari kelompok masyarakat untuk diadu dengan data dari eksekutif. Walhasil, peran anggota DPRD selalu kalah dengan eksekutif dalam perencanaan dan pengambilan kebijakan pembangunan.

Untuk itu kami mengundang segenap jaringan Lakpesdam Tuban di semua daerah agar bersama melakukan agenda sebagai berikut:
  1. Membentuk Parlement Watch bersifat aliansi taktis di Kab/ Kota
  2. Melakukan Review Bulanan Hasil Kinerja Anggota DPRD bersama Kepala Desa, BPD, Tokoh masyarakat dan CSO
  3. Menjalin kerjasama Capacity Building dengan Anggota DPRD untuk tiga keahlian; legal drafting, Perencanaan Anggaran dan Pembangunan, serta Constituent Relation System.

Mari Berjuang Bersama!!!
(Hadi Prayitno)