Jakarta - Amerika Serikat akhirnya mengubah kebijakannya dengan berencana menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di negaranya sebesar 3,9 persen dari tingkat emisi GRK pada 1990 yaitu tahun ketika Protokol Kyoto dicetuskan.
Deputi III Meneg LH Bidang Peningkatan Konservasi SDA dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Masnellyarti Hilman, disela acara Pekan Lingkungan Indonesia (PLI) 2009 di Jakarta, Jumat, mengatakan kebijakan Amerika tersebut terungkap pada pertemuan 14 negara maju pada "Major Economist Forum" (MEF) di Paris, Perancis pada 25-26 Mei 2009 yang membahas masalah iklim dan energi.
"Dulu Amerika di bawah Presiden Bush (George Bush) tidak bergeming, tidak mau menurunkan emisi GRK. Sekarang Amerika akan mengeluarkan peraturan penurunan emisi GRK. Mereka memperhitungkan dapat menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 3,9 persen dari emisi tahun 1990 yaitu ketika Protokol Kyoto dicetuskan," katanya.
Masnellyarti menjelaskan delegasi Amerika pada pertemuan MEF yang dipimpin oleh Duta Besar khusus Amerika untuk Perubahan Iklim Todd Stern juga mengatakan menargetkan penurunan emisi GRK sampai 80 persen pada 2050.
Sedangkan negara-negara Uni Eropa, lanjutnya, akan menurunkan emisi GRK sebanyak 20 -25 persen dari tingkat emisi GRK pada tahun 1990.
"Tapi target penurunan emisi negara Uni Eropa dan Amerika akan sama sekitar 80 persen pada 2050," katanya.
Sedangkan Meneg LH Rachmat Witoelar yang ditemui usai mengunjungi PLI 2009 mengatakan hasil pertemuan MEF di Paris antara lain bahwa Amerika memang akan menurunkan emisi GRK, akan tetapi angka penurunan emisi tersebut belum dipastikan.
Dia mengatakan dalam forum MEF tersebut, dirinya fokus untuk melobi Amerika karena negara-negara maju anggota MEF dalam menentukan angka penurunan emisi GRK menunggu kepastian angka penurunan emisi GRK Amerika Serikat.
Kepastian angka penurunan emisi GRK dari 14 negara tersebut termasuk Amerika akan ditentukan pada pertemuan SBTSA UNFCC (the Subsidiary Body on Technological and Scientific Advice of the United Nations Framework Convention on Climate Change) di Bonn pada Juni 2009.
Selanjutnya, hasil kesepakatan dari SBTSA UNFCC akan dibawa ke pertemuan pada pertemuan para pihak (COP/conference of the parties) ke-15 UNFCC di Kopenhagen, Denmark pada Desember 2009.(*)
Jakarta - Pencemaran udara di Indonesia, khususnya Jakarta telah mengalami tingkat yang mengkhawatirkan dibandingkan dengan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), kata staf ahli Menteri kehutanan bidang lingkungan, Yetti Rusli.
"Pencemaran paling berat terjadi di Jakarta dibandingkan dengan Tokyo, Beijing, Seoul, Taipei, Bangkok, Kuala Lumpur dan Manila," katanya pada seminar di Jakarta, Senin.
Seminar dan temu wartawan itu bertema "Inisiatif dan respon Indonesia terhadap fenomena perubahan iklim global" yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Berdasarkan data yang ada, jelasnya, total estimasi pollutant CO yang diestimasikan dari seluruh aktivitas di Kota Jakarta adalah sekitar 686,864 ton per-tahun atau 48,6 persen dari jumlah emisi lima pollutant.
Penyebab dari pencemaran udara di Jakarta itu sekitar 80 persen berasal dari sektor transportasi, dan 20 persen industri serta limbah domestik.
Sedangkan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan sebesar 20 persen.
"Kawasan hutan yang lebat dengan pepohonan dapat berperan sebagai `obat` untuk mengurangi emisi karbon (CO2) karena akan menyerap karbon sekitar 50 persen dari biomasa pohon," kata dia.
Ket: Photo (Kabut polusi terlihat menutupi langit Jakarta)
Bencana ekologis tidak pernah jauh dari kehidupan masyarakat Indonesia. WALHI menyebut hal ini tidak lepas dari carut marutnya pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Korelasi antara pengelolaan sumberdaya alam hutan dan dengan sejumlah bencana termasuk banjir dan longsor, sebagaimana yang terjadi di Sulawesi Tengah baru-baru ini, sangatlah erat. Namun lagi, pemerintah tidak pernah mau melihat hubungan tersebut. Industri kehutanan terus digenjot, jutaan hektar hutan terus di tebang dan dikonversi.
Hutan Indonesia ada pada titik nadir. Setiap tahunnya kita kehilangan 2 juta hektar hutan. Ini setara dengan empat kali Pulau Bali. Dibutuhkan terobosan kebijakan guna menyelamatkan Indonesia dari bencana ekologis yang berkesinambungan disamping untuk menyelamatkan industri kehutanan itu sendiri.
Dibutuhkan kebijakan untuk melakukan Jeda Tebang. Untuk berhenti sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan. Tujuannya adalah untuk mengambil jarak dari masalah agar didapat jalan keluar yang bersifat jangka panjang dan permanen. Selain itu, jeda tebang juga ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada hutan untuk melakukan regenerasi, memperbaiki tata kelola dan kebijakan disektor kehutanan yang tumpang tindih, mempersiapkan Protocol Resolusi Konflik sebagai sebuah acuan dalam penyelesaian konflik-konflik dengan masyarakat, mempersiapkan Standard Pelayanan Ekologi sebagai acuan dalam melakukan assesment terhadap berbagai perizinan perkebunan dan kehutanan baik yang baru maupun yang lama, mempersiapkan konseptual Sistem Hutan Kerakyatan, sebagai sebuah kebijakan untuk lebih mengakomodir dan mengakui hak kelola rakyat terhadap sumberdaya hutan.
Mengapa Harus Jeda Tebang
JedaTebang adalah pilihan yang paling masuk akal. Setiap tahunnya kita kehilangan hutan lebih dari dua juta hektar. Melihat pada cadangan Hutan Produksi di Indonesia seluas 41,25 juta ha, melihat pasokan bahan baku kayu dari hutan tanaman industri hanya sanggup memenuhi separuh dari kebutuhan industri pulp, dan melihat bahwa biofuel akan memicu percepatan pelepasan kawasan untuk perkebunan kelapa sawit, diperkirakan bahwa pada tahun 2012 hutan alam dataran rendah di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi musnah. Pada tahun 2022, seluruh hutan alam dataran rendah Indonesia musnah.
Berbagai inisiatif untuk memperbaiki sektor kehutanan seperti FLEGT tidak akan mampu menekan laju kerusakan karena hanya mengatur tentang penegakan hukum, tata kelola dan perdagangan kayu. FLEGT tidak menyentuh akar masalah di sektor kehutanan, yaitu pengakuan terhadap hak-hak masyarakat, korupsi dan besarnya kesenjangan antara persediaan (supply) dan kebutuhan (demand) di industri kehutanan. Di samping itu, FLEGT juga tidak menyentuh akar masalah yang memicu percepatan deforestasi Indonesia, yaitu pola konsumsi. Sertifikasi juga tidak akan mampu menyelesaikan masalah sepanjang bersifat voluntary. Sertifikasi memberikan ilusi seolah ada pengelolaan hutan yang lestari. Sama seperti FLEGT, sertifikasi mengalihkan persoalan fundamental kehutanan.
Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut di atas muncul justru dari kenyataan yang ada pada industri kehutanan itu sendiri. Laju tebangan ilegal pada tahun 2006 telah mencapai lebih dari 19,051 juta meter kubik dengan kerugian Rp. 22,862 trilyun rupiah. Angka ini sedikit kecil bila dibandingkan dengan devisa yang diperoleh dari ekspor kehutanan minus pulp yang mencapai Rp. 29,536 triliun. Namun dengan kerugian banjir dan longsor senilai Rp. 8,158 triliun, angka kerugian bertambah menjadi 31,020 triliun rupiah. Ringkasnya, setiap tahunnya industri kehutanan berkontribusi terhadap defisit devisa negara sebesar Rp. 1,484 triliun rupiah. Belum termasuk kerugian yang muncul dari penyelundupan kayu, biaya konflik dan nilai ekologi sumberdaya hutan.
Penyelesaian atas masalah disektor kehutanan tentu tidak akan mudah. Operasi penebangan yang merusak hanya mampu menyentuh kurang dari8,7 persen kayu yang ditebang secara ilegal setiap tahunnya. Revitalisasi dan restrukturisasi industri di tingkat nasional juga berjalan saling berseberangan dengan peningkatan kapasitas industri. Pada saat audit dilakukan pemerintah justru meningkatkan kapasitas produksi pulp di Sumatera dan berencana untuk membangun satu industri pulp di Kalimantan dan satu di Papua.
Ringkasnya, ada banyak kepentingan yang saling berseberangan di sektor kehutanan. Satu sisi, ada masalah bencana dan konflik yang menimbulkan kerugian yang tidak sedikit dan di sisi lain ada dorongan untuk melakukan ekstraksi terus-menerus untuk memenuhi cadangan devisa dan pembayaran hutang bagi industri yang tertanggung di BPPN. Kordinasi pusat dan daerah juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mengakibatkan informasi dan perkembangan industri di tingkat kabupaten tidak diketahui oleh pemerintah pusat. Membuat perencanaan pembangunan kehutanan Indonesia didasarkan pada asumsi-asumsi. Membuat solusi terhadap pembangunan di sektor kehutanan tidak menyentuh tiga masalah mendasar: tidak ada pengakuan terhadap hak rakyat, korupsi dan besarnya kesenjangan antara pasokan dan permintaan di industri kayu.
Pilihan Jeda Tebang diambil dikarenakan ada banyak kepentingan yang membuat solusi terhadap masalah menjadi sulit didapatkan. Dengan jeda, seluruh kepentingan bisa dipinggirkan terlebih dahulu untuk kemudian permasalahan didalam tata kelola dan kebijakan yang tumpang tindih bisa diperbaiki. Demikian halnya dengan penyelesaian konflik, peraturan perizinan dan sistem kelola hutan rakyat bisa dilihat secara lebih jernih.
Selama masa lima belas tahun, pemerintah mempersiapkan kebijakan yang mengatur tentang Protokol Resolusi Konflik sebagai panduan kedepannya untuk menyelesaikan konflik-konflik di sektor kehutanan, Standar Pelayanan Ekologi sebagai petunjuk jalan (guidelines) dalam mengeluarkan kebijakan pengusahaan di bidang kehutanan dan perkebunan, menyusun kebijakan pengelolaan hutan yang berbasiskan pada masyarakat dan lalu lintas perdagangan kayu.
Selama jeda tebang dijalankan, industri-industri kayu dapat tetap jalan dengan cara mengimpor bahan baku kayu dari luar negeri. Dengan melanjutkan penggunaan bahan baku kayu dari dalam negeri sendiri, pada dasarnya kita sama saja dengan melakukan bunuh diri.Untuk memudahkan pengawasan tersebut, maka jenis kayu yang diimpor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada di Indonesia.
Keuntungan Jeda Tebang
Moratorium akan memberikan keuntungan ganda dalam perbaikan pengelolaan sumberdaya hutan dan industri perkayuan yang berkelanjutan, seperti antara lain:
Memberikan ruang politik dan ekologi kepada hutan alam untuk ‘bernafas’ dan menahan berlanjutnya kehancuran hutan tropis di Indonesia;
Memberikan kesempatan terbaik untuk memonitor pelaksanaan lacak balak (timber-tracking) dan audit kayu bulat;
Memberikan kesempatan untuk menata industri kehutanan dan hak-hak tenurial (penguasaan) sumber daya hutan;
Mengkoreksi distorsi pasar kayu domestik dengan membuka kran impor seluas-luasnya;
Lewat mekanisme pasar, melakukan restrukturisasi dan rasionalisasi industri olah kayu dan mengoreksi over kapasitas industri: hanya industri yang melakukan bisnis dengan benar dan bersaing yang dapat melanjutkan bisnisnya dan yang mengandalkan suplai kayu haram dengan sendirinya tidak akan mampu bersaing;
Lewat mekanisme pasar, memaksa industri olah kayu meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku; dan
Lewat mekanisme pasar, mendorong industri pulp untuk secara serius membangun hutan-hutan tanamannya.
Kerugian Bila Jeda Tebang Tidak Dilaksanakan
Indonesia akan mengalami kerugian besar pada masa yang akan datang apabila tidak memberlakukan moratorium saat ini, seperti sebagai berikut:
Pemerintah tidak dapat memonitor kegiatan penebangan haram secara efektif;
Distorsi pasar tidak dapat diperbaiki dan pemborosan kayu bulat akan terus terjadi;
Tidak ada paksaan untuk industri untuk meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku
Industri akan menunda-nunda pembangunan hutan-hutan tanaman dan semakin menghancurkan hutan alam;
Defisit kehutanan akan terus bertambah;
Hutan dataran rendah Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi akan habis pada 2012 dan hutan dataran rendah Papua akan habis pada 2022;
Indonesia akan kehilangan basis industri di luar pulp yang menghasilkan devisa sebesar US$ 4 milyar dan bila sumber daya hutan habis, dan ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaannya dalam masa 7 tahun mendatang;
Carut marutnya suara warga Nahdliyin pada pemilu legeslatif kemarin yang dinilai oleh banyak kalangan sebagai kegagalan politik warga Nahdliyin disikapi oleh Muhimmudin, S.Ag, Sekretaris Cabang Gerakan Pemuda Ansor (GP.Ansor) Kabupaten Tuban.
Anjlok-nya sejumlah suara partai politik yang dekat dengan Nahdalatul Ulama' (NU) seperti halanya PPP, PKB dan bahkan PKNU adalah karena tidak fahamnya warga Nahdliyin akan perjuangan NU secara kultural ataupun struktural.Banyaknya masyarakat yang tidak masuk dalam data pemilih tetep (DPT) merupakan bagian dari menurunnya suara parpol yang “berdekatan” dengan NU. S
elain itu pula pola pikir masyarakat yang sudah apatis akan pemilu dan sampai munculnya sikap atau prilaku prakmatis juga merupakan beberapa faktor penyebab berkurang-nya suara parpol yang berbasis warga nahdliyin. “Banyak faktor penyebab menurunya suara parpol yang “dekat” dengan Nahdlatul ulama', akan tetapi yang pasti warga NU masih banyak yang belum tahu akan perjuangan dan kiprah NU pada masyarakat, sehingga mereka lebih mengutamakan keuntungan sesat”. Ujar Muhimmudin.
Muhimuddin yang juga Direktur Lakpesdam PC NU Tuban ini mengungkapkan, prilaku prakmatis masyarakat juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena menurutnya ada akibat, karena ada sebab-nya. Hasil diskusi PC Lakpesdam dan GP Ansor Tuban kemarin mencatat kalau masyarakat selain sudah jenuh dengan pola pemilu yakni mulai dari Pilkades, Pilbub, Pilgub, Pileg dan Juga Pilpres, ketika para calon pemimpin sudah menjadi pimpinan tidak ada perubahan yang siknifikan, bahkan cenderung lupa kalau sudah menjadi pejabat.
“Masyarakat juga sudah jenuh dengan Pil-pil, apalagi pemilu kali ini juga benar-benar jauh berbeda dengan proses pemilu sebelumnya, banyaknya partai dan calon legeslatif (Caleg) yang mengunakan berbagai macam strategi, bahkan sampai dengan mengunakan uang untuk meraup suara menjadi fenomena tersendiri dan menarik untuk dikaji” Lanjut Aktifis HMI saat masih kuliah di surabaya pada bhirawa.
Ditempat terpisah, Drs. Muhtarom Direktur LSM Yanata Tuban, menambahkan kalau hasil dari pemilu legeslatif kemarin adalah bukan sebuah mandat yang diberikan sepenuhnya oleh rakyat pada wakil-nya (Caleg.red). Akan tetepi sebuh mandat yang “dibeli” oleh para Caleg. Oleh karena itu, nantinya masyarakat tidak bisa berharap banyak pada wakilnya yang ada di gedung parlemen, karena mereka sudah membeli mandat yang “dijual” oleh rakyat itu sendiri.
“Ya..jangan berharap banyak dari mereka, masyarakat/rakyat sendiri sudah 'menjual' mandat itu pada mereka. Sangat masuk akal dan manusiawi sekali, ketika para wakil rakyat digedung parleman nanti tidak merespon lagi jeritan ataupun keluh rakyat-nya, lawong mereka sudah membeli mandat itu” Ujar Muhtarom.
Meski demikian, Muhtarom masih tetap berharap pada para anggota DPR hasil pemilu 9 April kemarin. Berapapun uang yang telah dikeluarkan untuk 'membeli' mandat dari rakyat, amanat dari undang-undang, DPR adalah wakil dari rakyat yang bertanggungjawab juga pada rakyat atau konstituen-nya selain pada partai yang mengusung.
“Kalau sudah tidak percaya pada DPR, Kan masih ada LSM, Pers yang merupakan bagian dari negara dan Demokrasi, laporkan saja pada LSM dan Pers ketika para wakil rakyat ini nanti tidak peduli lagi pada masyarakat, biar nanti kalau mau nyalonkan lagi tidak ada yang memilih, minimal citra partai yang mengusungnya juga ikut menanggung beban”. Pungkas Tarom.
Surabaya - Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) tidak hanya dituntut memiliki kemampuan alusista berteknologi canggih, tapi keindahan dan keasrian lingkungan juga menjadi prioritas sehari-hari.
Seperti yang dilakukan pagi ini, Koarmatim menanam 1.264 pohon di area lahan Komando Latihan Armada Timur (Kolatrmatim) Ujung Surabaya, Selasa (9/6/2009).
Secara simbolis penanaman pohon kelengkeng dan mangga dilakukan Pangarmatim Laksamana Muda TNI Lili Supramono dan diikuti Kasarmatim Laksamana Pertama TNI Slamet Yulistiono, Asisten Pangarmatim, Komandan Satuan Kapal, Kepala Dinas Koarmatim dan seluruh anggota Koarmatim.
Penanaman pohon ini baru pertama dilakukan, beberapa bulan silam juga dilaksanakan kegiatan yang sama. Tepatnya di depan Pos Candi Ujung, waktu itu telah ditanam 1.000 pohon produktif berupa mangga dan buah-buahan lainnya. Pagi ini, pohon yang ditanam di lahan Kolatarmatim juga dari pohon jenis produktif. Diantaranya mangga, sawo, klengkeng dan jenis buah lainnya.
Digalakkannya program penghijauan mengingat akhir-akhir ini sengatan matahari ke bumi dirasakan semakin panas. Hal itu disebabkan sebagai dampak gundulnya hutan dan berdirinya rumah-rumah kaca berakibat terjadinya pemanasan global. Dampak lainnya, permukaan laut pun saat ini sudah cukup tinggi. Sehingga banyak pemukiman di dekat pantai yang rumahnya kebanjiran karena air laut pasang.
Kondisi ini juga dirasakan Koarmatim. Sebagai markas komando yang lokasinya di pinggir Pantai, setiap saat bisa melihat dan merasakan tingginya pasang air laut. Dengan menggalakkan program penghijauan, diharapkan sedikit membantu mengurangi terjadinya pemanasan global.
Dengan lingkungan yang asri, diharapkan akan dapat membawa suasana tenang, nyaman dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan etos kerja bagi setiap prajurit. (penarmatim@yahoo.com)
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) adalah lembaga yang didirikan atas diskusi panjang beberapa stakeholders dibawah naungan jam’iyah Nahdlatul Ulama yang meliputi Pengurus Cabang NU, Aktivis Mahasiswa, Kaum
Muda, akademisi, dan kelompok profesional.
Lahirnya lembaga ini di Kabupaten Tuban sebagai reaksi atas keprihatinan Kaum Muda Nahdlatul Ulama terhadap permasalahan social yang terjadi di masyarakat pada umumnya dan warga NU khususnya. Pada Dasarnya, yang mempengaruhi permasalahan umum masyarakat
dapat ditinjau pada lima sector pokok, yaitu: Industri & Lingkungan Hidup, Kelautan, Pertambangan dan Pertanian.
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) adalah lembaga yang didirikan atas diskusi panjang beberapa stakeholders dibawah naungan jam’iyah Nahdlatul Ulama yang meliputi Pengurus Cabang NU, Aktivis Mahasiswa, Kaum Muda, akademisi, dan kelompok profesional.
Lahirnya lembaga ini di Kabupaten Tuban sebagai reaksi atas keprihatinan Kaum Muda Nahdlatul Ulama terhadap permasalahan social yang terjadi di masyarakat pada umumnya dan warga NU khususnya. Pada Dasarnya, yang mempengaruhi permasalahan umum masyarakat dapat ditinjau pada lima sector pokok, yaitu: Industri & Lingkungan Hidup, Kelautan, Pertambangan dan Pertanian.
Pertama - Sektor Industri. Pengaruh sector ini terhadap kehidupan masyarakat berawal dari adanya kebijakan pemerintah yang menjadikan Tuban sebagai pusat pengembangan industri membawa dampak serius terhadap sektor pertanian, kelatuan, perhutanan, dan sumber air tanah yang telah menjadi sumber penghidupan masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh adanya pembuangan limbah industri dalam skala besar yang tentunya akan menjadi ancaman terhadap kerusakan ekologi dan lingkungan hidup.
Ironisnya, industri besar di Kabupaten Tuban tidak mampu menjadi factor pendukung terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini karena industri tersebut lebih banyak memberikan kontribusi kepada pemerintah pusat dari pada masyarakat sekitar. Corporate Social Responsibilities (CSR) atau tanggungjawab social perusahaan belum bisa dilakukan secara penuh oleh industri yang ada di kawasan Kabupaten Tuban.
Kedua - Sektor Lingkungan Hidup. Setelah era Otonomi Daerah, Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur membuat kesepakatan untuk menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang pengelolaan DAS Solo; yang berakibat pada timbulnya kerusakan lingkungan (abrasi) akibat penambangan pasir. Dan 125 Desa di kawasan DAS Solo yang terkena dampak lingkungan akibat penambangan pasir tersebut mayoritas penduduknya adalah warga masyarakat yang mempunyai kultur Nahdliyin (NU Cultural).
Lahan hutan di kawasan Tuban Selatan terhampar di 3 Kecamatan; Montong (12.663,513 Ha); Kerek (11.665,920 Ha), dan Semanding (11.646,144 Ha). Kawasan Selatan adalah daerah pegunungan kapur, terkenal dengan hutan jatinya khas satu rumpun dengan jati Blora dan Bodjonegoro. Sejak 10 tahun terakhir, kawasan yang sebagian digarap warga merupakan hamparan yang belum menghasilkan tanaman pokok secara maksimal. Terjadi eksploitasi ekologi sebagai monster pemangsa kehidupan dengan daya distruktif mengerikan.
Meluasnya erosi mengakibatkan datangnya bencana banjir bandang. Secara ekologis Tuban-Selatan menghadapi kehancuran prematur.
Ketiga - Sektor Kelautan. Sejumlah 5 (lima) Kecamatan di jalur Pantura Kabupaten Tuban yang meliputi: Kecamatan Palang, Kecamatan Tuban, Kecamatan Jenu, Kecamatan Tambakboyo, dan Kecamatan Bancar, kehidupan masyarakatnya sangat bergantung pada sector kelautan. Faktanya, 18.188 Nelayan yang tersebar di 38 Desa dengan mayoritas warga Nahdliyin dan 6 Desa Muhammadiyah hidup dibawah garis kemiskinan dan harus diselamatkan.
Rendahnya pendapatan masyarakat nelayan diakibatkan oleh minimnya sarana perahu yang masih sederhana. Sehingga budaya nelayan Tuban dalam mencari ikan hanya bersifat harian –berangkat kelaut malam, pulang pagi- karena jarak tempuh perahu masih dibawah jarak 12 Mil yang sudah mengalami over-fishing yaitu jumlah ikan sudah sedikit akibat terlalu banyak dieksplorasi. Sedangkan perairan yang jumlah ikannya masih potensial berada pada jarak 12 Mil - 30 Mil.
Oleh karena itu, agar nelayan mampu mencari ikan (baca: melaut) dalam rentang waktu mingguan dengan jarak tempuh diatas 12 Mil, maka perlu adanya pembaharuan sarana prasarana perahu yang lebih besar dan memadai.
Selain itu, dengan adanya maping (pembagian) wilayah industri di Kabupaten Tuban, 2 (dua) Kecamatan yaitu Jenu & Tambakboyo yang sudah ditetapkan sebagai wilayah industri, tidak mendapatkan bantuan dan pembinaan lagi dari pemerintah daerah dengan asumsi sudah menjadi tanggungjawab perusahaan yang ada di wilayah tersebut.
Keempat - Sektor Petambangan. Lahan produktif (sawah, ladang milik warga) telah berubah fungsi menjadi area eksplorasi industri. Sehingga masyarakat menjadikan area hutan gundul sebagai wilayah pertambangan batu kumbung yang selanjutnya menjadi mata pencaharian tetap.
Akan tetapi potensi pertambangan di Tuban masih melimpah; (i) Batu gamping cadangan 71.689.531.362 ton (Semandiang, Merakurak, Kerek, Montong, Rengel, Singgahan, Soko, Plumpang, Palang, Jenu, Jatirogo; (ii) Dolomit cadangan 3.723.382.021 ton ( Palang, Widang, Semanding, Rengel, Soko, Montong, Kerek); (iii) Tanah Liat (keramik, bahan semen), cadangan 545.733.699 ton (Merakurak, Kerek, Jenu, Tambakboyo, Bancar, Montong, Jatirogo, Parengan, Semanding, Rengel; (iv) Pasir Kuarsa, cadangan 499.067.420 ton (Bancar, Tambakboyo, Jatirogo, Kenduruan, Montong, Jenu, Parengan, Rengel, Soko; (v) Kalsit (bahan kaca, farmasi, keramik) cadangan 984.877.344 ton ( Palang, Montong, Merakurak, Rengel, Semanding.
Ditambah lagi dengan potensi cadangan tambang Minyak dan Gas yang meliputi; (i) Kec Rengel (Bulurejo dan Ngadirejo); (ii) Kec Senori (Wonosari dan Banyurip); (iii) Kec Soko ( Rahayu); (iv) Kec Bancar (Cingklung dan lepas pantai); (v) Parengan (14 desa): (vi) Kec Bangilan (Kumpulrejo); (vii) Kec Singgahan; (viii) Kec Montong (Maindu) Kelima - Sektor Pertanian. Akibat kerusakan lingkungan, sumber air tanah semakin dangkal dan dalam. Padahal selain sebagai kebutuhan dasar air minum, wilayah agraris sangat membutuhkan sumber air untuk irigasi pertanian. Rendahnya produksi pertanian juga dikarenakan ketergantungan petani terhadap pupuk kimia, pestisida kimia, dan bibit pabrik.
Melihat uraian permasalahan umum diatas, terdapat 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan; Pertama, Terdapat keterkaitan erat, antara kemiskinan, sikap hidup, pendidikan dan degradasi lingkungan. Kedua, Kemerosotan daya dukung lingkungan adalah salah satu penyebab muncul dan berkembangnya kemiskinan. Ketiga, Sebaliknya, kemiskinan juga dapat menjadi penyebab kerusakan lingkungan.
Sehingga wajar kalau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Kabupaten Tuban berada pada rangking 306, sedangkan Indeks Kemiskinan Masyarakat (IKM) dan berada pada rangking 182. IPM dapat ditentukan oleh beberapa indicator yang meliputi Harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, pengeluaran riil Perkapita. Adapun IKM banyak dipengaruhi oleh; penduduk tidak mencapai 40 tahun, angka buta huruf penduduk dewasa (diatas 15 tahun), penduduk tanpa akses air bersih, penduduk tanpa akses fasilitas sarana kesehatan, dan balita kurang gizi. Dengan kata lain, IKM adalah ukuran dari suatu keadaan yang cenderung membawa manusia pada angka kemiskinan.
Melihat kompleksitas permasalahan umum tersebut, ditambah dengan adanya problem internal NU khususnya proses pengembangan potensi jam’iyyah (kelembagaan) maupun jamaah (warga) yang belum berjalan baik (kreatif dan produktif), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia – Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) di Kabupaten Tuban dianggap urgent kelahirannya. Yaitu untuk menjalankan amanat Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Kemasyarakatan yang bertanggungjawab terhadap keberlanjutan hidup ummatnya yang mayoritas.
Visi dan Misi
Visi :
“Menjadi Fasilitator dan Dinamisator yang amanah dalam memperkuat iklim kondusif bagi terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis, dan berkeadilan dengan berazaskan nilai-nilai Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.
Misi:
Menumbuhkembangkan Sumberdaya Manusia agar memiliki: 1. Kedalaman Iman & Kepekaan Nurani 2. Ketajaman Nalar 3. Ketrampilan Profesional 4. Kemandirian Sikap, dan 5. Semangat Juang menuju terciptanya masyarakat sejahtera, mandiri, berkeadilan & berkeadilan.
Tujuan
1. Meningkatkan Kapasitas Kader dan Kelembagaan 2. Memperkuat Kapasitas basis/ jama’ah 3. Mengembangkan wacana kritis keberagamaan dan Ekosob (ekonomi, social, politik, dan budaya)
Strategi
1. Belajar dari Pengalaman 2. Munasabah (kontekstualisasi, adaptasi kritis, pelestarian, & kearifan local) 3. Pengorganisasian
Program Pokok
1. Kajian & Penelitian
a. Penelitian Potensi Warga NU b. Halaqoh Siyasah Anti Korupsi c. Halaqoh Kewarganegaraan
2. Pendidikan & Pelatihan
a. Pelatihan Penelitian b. Pelatihan Analisis Sosial c. Pelatihan Fund Raising d. Pelatihan CO e. Halaqoh Khittah Nahdliyah
- Aswaja - Keorganisasian
3. Kajian dan Pengembangan Ekonomi Masyarakat
Pelatihan Pengembangan Management Usaha
Pendampingan UKM berbasis warga
4. Advokasi Kebijakan Publik
Pengorganisasian CSO – Forum Warga untuk terlibat dalam Penyusunan Kebijakan Publik
Pengawasan Pembangunan Daerah berbasis Forum Warga
Analisis & Advokasi APBD yang Berpihak pada Masyarakat Miskin (Pro-Poor Budget)