Siapakah Calon Bupati Tuban 2011 - 2015?

Selasa, 09 Juni 2009

Merdeka Dari Bencana Ekologis; Jeda Tebang Sekarang

Bencana ekologis tidak pernah jauh dari kehidupan masyarakat Indonesia. WALHI menyebut hal ini tidak lepas dari carut marutnya pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Korelasi antara pengelolaan sumberdaya alam hutan dan dengan sejumlah bencana termasuk banjir dan longsor, sebagaimana yang terjadi di Sulawesi Tengah baru-baru ini, sangatlah erat. Namun lagi, pemerintah tidak pernah mau melihat hubungan tersebut. Industri kehutanan terus digenjot, jutaan hektar hutan terus di tebang dan dikonversi.


Hutan Indonesia ada pada titik nadir. Setiap tahunnya kita kehilangan 2 juta hektar hutan. Ini setara dengan empat kali Pulau Bali. Dibutuhkan terobosan kebijakan guna menyelamatkan Indonesia dari bencana ekologis yang berkesinambungan disamping untuk menyelamatkan industri kehutanan itu sendiri.


Dibutuhkan kebijakan untuk melakukan Jeda Tebang. Untuk berhenti sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan. Tujuannya adalah untuk mengambil jarak dari masalah agar didapat jalan keluar yang bersifat jangka panjang dan permanen. Selain itu, jeda tebang juga ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada hutan untuk melakukan regenerasi, memperbaiki tata kelola dan kebijakan disektor kehutanan yang tumpang tindih, mempersiapkan Protocol Resolusi Konflik sebagai sebuah acuan dalam penyelesaian konflik-konflik dengan masyarakat, mempersiapkan Standard Pelayanan Ekologi sebagai acuan dalam melakukan assesment terhadap berbagai perizinan perkebunan dan kehutanan baik yang baru maupun yang lama, mempersiapkan konseptual Sistem Hutan Kerakyatan, sebagai sebuah kebijakan untuk lebih mengakomodir dan mengakui hak kelola rakyat terhadap sumberdaya hutan.


Mengapa Harus Jeda Tebang


JedaTebang adalah pilihan yang paling masuk akal. Setiap tahunnya kita kehilangan hutan lebih dari dua juta hektar. Melihat pada cadangan Hutan Produksi di Indonesia seluas 41,25 juta ha, melihat pasokan bahan baku kayu dari hutan tanaman industri hanya sanggup memenuhi separuh dari kebutuhan industri pulp, dan melihat bahwa biofuel akan memicu percepatan pelepasan kawasan untuk perkebunan kelapa sawit, diperkirakan bahwa pada tahun 2012 hutan alam dataran rendah di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi musnah. Pada tahun 2022, seluruh hutan alam dataran rendah Indonesia musnah.


Berbagai inisiatif untuk memperbaiki sektor kehutanan seperti FLEGT tidak akan mampu menekan laju kerusakan karena hanya mengatur tentang penegakan hukum, tata kelola dan perdagangan kayu. FLEGT tidak menyentuh akar masalah di sektor kehutanan, yaitu pengakuan terhadap hak-hak masyarakat, korupsi dan besarnya kesenjangan antara persediaan (supply) dan kebutuhan (demand) di industri kehutanan. Di samping itu, FLEGT juga tidak menyentuh akar masalah yang memicu percepatan deforestasi Indonesia, yaitu pola konsumsi. Sertifikasi juga tidak akan mampu menyelesaikan masalah sepanjang bersifat voluntary. Sertifikasi memberikan ilusi seolah ada pengelolaan hutan yang lestari. Sama seperti FLEGT, sertifikasi mengalihkan persoalan fundamental kehutanan.


Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut di atas muncul justru dari kenyataan yang ada pada industri kehutanan itu sendiri. Laju tebangan ilegal pada tahun 2006 telah mencapai lebih dari 19,051 juta meter kubik dengan kerugian Rp. 22,862 trilyun rupiah. Angka ini sedikit kecil bila dibandingkan dengan devisa yang diperoleh dari ekspor kehutanan minus pulp yang mencapai Rp. 29,536 triliun. Namun dengan kerugian banjir dan longsor senilai Rp. 8,158 triliun, angka kerugian bertambah menjadi 31,020 triliun rupiah. Ringkasnya, setiap tahunnya industri kehutanan berkontribusi terhadap defisit devisa negara sebesar Rp. 1,484 triliun rupiah. Belum termasuk kerugian yang muncul dari penyelundupan kayu, biaya konflik dan nilai ekologi sumberdaya hutan.


Penyelesaian atas masalah disektor kehutanan tentu tidak akan mudah. Operasi penebangan yang merusak hanya mampu menyentuh kurang dari 8,7 persen kayu yang ditebang secara ilegal setiap tahunnya. Revitalisasi dan restrukturisasi industri di tingkat nasional juga berjalan saling berseberangan dengan peningkatan kapasitas industri. Pada saat audit dilakukan pemerintah justru meningkatkan kapasitas produksi pulp di Sumatera dan berencana untuk membangun satu industri pulp di Kalimantan dan satu di Papua.


Ringkasnya, ada banyak kepentingan yang saling berseberangan di sektor kehutanan. Satu sisi, ada masalah bencana dan konflik yang menimbulkan kerugian yang tidak sedikit dan di sisi lain ada dorongan untuk melakukan ekstraksi terus-menerus untuk memenuhi cadangan devisa dan pembayaran hutang bagi industri yang tertanggung di BPPN. Kordinasi pusat dan daerah juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mengakibatkan informasi dan perkembangan industri di tingkat kabupaten tidak diketahui oleh pemerintah pusat. Membuat perencanaan pembangunan kehutanan Indonesia didasarkan pada asumsi-asumsi. Membuat solusi terhadap pembangunan di sektor kehutanan tidak menyentuh tiga masalah mendasar: tidak ada pengakuan terhadap hak rakyat, korupsi dan besarnya kesenjangan antara pasokan dan permintaan di industri kayu.

Pilihan Jeda Tebang diambil dikarenakan ada banyak kepentingan yang membuat solusi terhadap masalah menjadi sulit didapatkan. Dengan jeda, seluruh kepentingan bisa dipinggirkan terlebih dahulu untuk kemudian permasalahan didalam tata kelola dan kebijakan yang tumpang tindih bisa diperbaiki. Demikian halnya dengan penyelesaian konflik, peraturan perizinan dan sistem kelola hutan rakyat bisa dilihat secara lebih jernih.


Selama masa lima belas tahun, pemerintah mempersiapkan kebijakan yang mengatur tentang Protokol Resolusi Konflik sebagai panduan kedepannya untuk menyelesaikan konflik-konflik di sektor kehutanan, Standar Pelayanan Ekologi sebagai petunjuk jalan (guidelines) dalam mengeluarkan kebijakan pengusahaan di bidang kehutanan dan perkebunan, menyusun kebijakan pengelolaan hutan yang berbasiskan pada masyarakat dan lalu lintas perdagangan kayu.


Selama jeda tebang dijalankan, industri-industri kayu dapat tetap jalan dengan cara mengimpor bahan baku kayu dari luar negeri. Dengan melanjutkan penggunaan bahan baku kayu dari dalam negeri sendiri, pada dasarnya kita sama saja dengan melakukan bunuh diri. Untuk memudahkan pengawasan tersebut, maka jenis kayu yang diimpor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada di Indonesia.


Keuntungan Jeda Tebang


Moratorium akan memberikan keuntungan ganda dalam perbaikan pengelolaan sumberdaya hutan dan industri perkayuan yang berkelanjutan, seperti antara lain:

  1. Memberikan ruang politik dan ekologi kepada hutan alam untuk ‘bernafas’ dan menahan berlanjutnya kehancuran hutan tropis di Indonesia;
  2. Memberikan kesempatan terbaik untuk memonitor pelaksanaan lacak balak (timber-tracking) dan audit kayu bulat;
  3. Memberikan kesempatan untuk menata industri kehutanan dan hak-hak tenurial (penguasaan) sumber daya hutan;
  4. Mengkoreksi distorsi pasar kayu domestik dengan membuka kran impor seluas-luasnya;
  5. Lewat mekanisme pasar, melakukan restrukturisasi dan rasionalisasi industri olah kayu dan mengoreksi over kapasitas industri: hanya industri yang melakukan bisnis dengan benar dan bersaing yang dapat melanjutkan bisnisnya dan yang mengandalkan suplai kayu haram dengan sendirinya tidak akan mampu bersaing;
  6. Lewat mekanisme pasar, memaksa industri olah kayu meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku; dan
  7. Lewat mekanisme pasar, mendorong industri pulp untuk secara serius membangun hutan-hutan tanamannya.

Kerugian Bila Jeda Tebang Tidak Dilaksanakan


Indonesia akan mengalami kerugian besar pada masa yang akan datang apabila tidak memberlakukan moratorium saat ini, seperti sebagai berikut:

  1. Pemerintah tidak dapat memonitor kegiatan penebangan haram secara efektif;
  2. Distorsi pasar tidak dapat diperbaiki dan pemborosan kayu bulat akan terus terjadi;
  3. Tidak ada paksaan untuk industri untuk meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku
  4. Industri akan menunda-nunda pembangunan hutan-hutan tanaman dan semakin menghancurkan hutan alam;
  5. Defisit kehutanan akan terus bertambah;
  6. Hutan dataran rendah Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi akan habis pada 2012 dan hutan dataran rendah Papua akan habis pada 2022;
  7. Indonesia akan kehilangan basis industri di luar pulp yang menghasilkan devisa sebesar US$ 4 milyar dan bila sumber daya hutan habis, dan ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaannya dalam masa 7 tahun mendatang;

by: HP
(sumber: www.walhi.or.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar