Siapakah Calon Bupati Tuban 2011 - 2015?

Senin, 08 Juni 2009

Hubungan Egaliter Antarbangsa

Sebelum adanya fenomena penjajahan, hubungan manusia sedunia ini bersifat lebih egaliter. Kalaupun ada perang, selalu dapat diselesaikan, bahkan kemudia dua bangsa dua Negara, dua kerajaaan saling kawin mawin, bertukar kebudayaan, sehingga menghasilkan perdamaian abadi antara bangsa. Tetapi, sejak datangnya penjajahan Eropa terhadap bangsa Asia dan Afrika serta Amerika Selatan, hubungan antarnegara menjadi tidak lagi setara, tidak lagi bersahabat. Sebaliknya, mereka saling menjajah dan mendisdiskriminasi secara agama, secara budaya dan secara rasial.

Westernisasi dan terutamna Eropanisai terjadi di mana-mana dengan misi civilisasi, pemberadaaban. Jadi penjajahan itu memperoleh jubah yang sangat mulia dengan selubung pemberadaban. Sebab bangsa, selain Eropa, semaju apapun dianggap tidak beradab ketika menolak budaya Eropa yang menjajah. Berbagai kerajaan, pusat kebudayaan dan sumber sejarah dihancurkan. Semuanya diganti dengan selera dan kultur Eropa yang dianggap beradab. Eropanisasi kemudian modernisasi merupakan satu paket dalam penjajahan ini.

Sebenarnya apa yang disampaikan Presiden Amerika untuk menjalin hubungan yang lebih bersahabat dengan Dunia Timur itu tidak perlu diserukan kepada dunia timur yang tidak mengenal penjajahan dan tidak mengenal diskriminasi. Justeru Negara Barat yang terus melakukan diskriminasi itu yang harus dijadikan sasaran pidato pimpinan Amerika itu. Ini kunci untuk menjamin perdamaian dunia di masa depan, yang harus dimulai dengan sekarang. Ajakan melakukan perbaikan hubungan baik saling pemahaman itu langkah yang salah. Bukankah dunia Islam dan dunia Timur pada umumnya siapa melakuakn kerjasama, tetapi selalu dimanipulasi dan direprasi, melalui saluran diplopmatik dan saluran mahkamah internasional.

Ketika terjadi penyatuan budaya atau lebih tepat penunggalan budaya, maka ekpresi kebudayaan lain selain mainstream dianggap sebagai kebudayaan liar, primitive, subversive. Dari situ kemudian distigma sebagai teroris. Bila sudah demikian maka yang dibangun adalah benturan budaya. Benturan yang semula bersifat politis ini menjadi benturan sosial, sehingga pengaruhnya menjadi sangat luas antarmasyarakat, bukan lagi antarelite pemimpin.

Ini yang terjadi sekarang ini. Islam telah didiskriminasi dan dicitrakan sedemikian rupa sehingga dianggap sebagai penggerak kekerasan. Lalu kalangan Islam yang risau dengan segala tenaga menampik tuduhan itu. Bahkan, penampikan tuduhan itu dengan melakukan tindakan berlebihan agar Islam dianggap sesuai dengan selera budaya mereka, Di mata Muslim yang risau terhadap citra dirinya itu, Islam menjadi sesuatu yang naïf oportunis, karena kehilangan identitas, kehilangan prinsip dan kehilangan harga diri. Prinsip telah digadaikana dengan citra dan selera mereka.

Problem sosial budaya seperti itu yang masih dihadapi dunia modern dewasa ini untuk melakukan kerjasama dan hubungan antarbangsa yang saling menghormati dan menguntungkan, non-diskriminasi dan non-kolonisasi. Ini baru bisa dianggap langkah baru. Bukan sekadar himbauan setiap musim kebijakan lalu ganti. Berbagai perang terjadi di dunia Timur karena adalah imbas dari perang yang ada di dunia Barat sana, yang tidak lain merupakan perang dagang lalu disulut dengan api agama, api etnis, sehingga mudah didiskriminasi sebagai bangsa yang primitif dan brutal.

Pembuatan stereotype terhadap bangsa Timur dengan melakukan provokasi politik semacam itu terus terjadi di Asia dan Afrika. Hampir setiap konflik masih berpola kerusuhan seperti itu. Kalau hal ini yang masih terus terjadi, maka ajakan untuk menata hubungan dunia yang baru itu bersifat manipulatif, tidak berangkat dari ketulusan hati yang berangkat dari kesetaraan budaya. Kalau soal hubungan antarmanusia dan budaya itu sudah ditata secara lebih egaliter, maka hubungan antarbangsa yang bersifat politik baru bisa diwujudkan secara hakiki.

(Abdul Mun’im DZ) sumber : http://www.nu.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar